Selasa, 11 Juni 2013

Memperbaiki Praktik Outsourcing di BUMN (www.gagasanhukum.wordpress.com)

Oleh Sugeng Santoso PN
Sugeng Santoso PNPendahuluan
Penyerahan pekerjaan kepada pihak lain atau dikenal dengan outsourcing/alih daya saat ini telah menjadi satu permasalahan yang sepertinya tidak selesai diperdebatkan. Aktivitis Serikat Pekerja dan Pengusaha berbeda pendapat tentang pemahaman terhadap outsourcing ini, di sisi lain Pemerintah terlihat tidak benar-benar serius mencari solusi terbaik tentang persoalan ini.
BUMN sebagai perusahaan ‘plat merah’ atau milik perusahaan Pemerintah justru banyak disorot karena diduga banyak melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan outsourcing. Beberapa kali Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN dipanggil oleh DPR dan didesak untuk segera menyelesaikan permasalahan praktik outsourcing di BUMN. Upaya yang telah dilakukan oleh Menteri BUMN adalah mengumpulkan seluruh direksi BUMN dan menawarkan beberapa solusi praktik outsourcing yang ada dengan menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya jenjang karir dan rencana pembentukan perusahaan outsourcing sendiri. Tentu saja solusi yang ditawarkan oleh Dahlan Iskan selaku menteri BUMN tersebut perlu dikritisi dari aspek hukum perburuhan.
Pokok permasalahan
Ketentuan yang mengatur tentang outsourcing diatur dalam Pasal 64 –Pasal 66 jo. Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 59 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU 13/2003 mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan Pasal 64 kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 65 berupa dua bentuk perjanjian untuk dapat dilaksanakannya penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian penyediaan jasa pekerja/ buruh. Berdasarkan Pasal 64 dan Pasal 65 maka dikenal adanya dua jenis outsourcing yaitu “outsourcing pekerjaan” yang berdasar pada suatu perjanjian pemborongan pekerjaan dan “outsourcing pekerja” yang berdasar pada suatu perjanjian penyediaan jasa pekerja
Hubungan hukum dalam outsourcing pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan pekerja karena perintah kerja datangnya dari pemberi kerja dan menikmati hasil pekerjaan juga pemberi kerja. Jenis outsourcing pekerjaan seharusnya tidaklah perlu dipersoalkan karena banyak terjadi di masyarakat tidak hanya dalam dunia industri. Sebaliknya, jenis outsourcing berupa outsourcing pekerja dapat ditafsirkan adalah salah satu bentuk penempatan pekerja sebagai obyek dari suatu hubungan hukum. Penempatan pekerja/buruh sebagai obyek oleh sebagian pakar hukum perburuhan dikatagorikan sebagai salah satu perbudakan manusia. Permasalahan penempatan buruh sebagai obyek hubungan hukum dalam UU 13/2003 inilah yang oleh sebagian besar aktivis buruh dituntut untuk dihilangkan dengan salah satu cara yaitu melakukan perubahan UU 13/2003.
Upaya untuk melakukan penghapusan outsourcing telah dilakukan pula melalui beberapa kali uji materiil UU 13/2003 terhadap UUD 1945 dan terakhir sebagaimana diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor : 27/PUU-IX/2011. Putusan MK tersebut memiliki dua sisi yang berbeda, Sisi pertama, putusan MK menyatakan hubungan kerja berupa karyawan kontrak (PKWT) tidak lagi mengikat di dalam perusahaan outsourcing. Atau boleh dikatakan hubungan kerja outsourcing harus berbentuk buruh/pekerja tetap (PKWTT). Di sisi lain, boleh menggunakan buruh/pekerja kontrak dalam outsourcing sepanjang PKWT memuat syarat pengalihan perlindungan hak buruh bila obyek kerjanya tetap ada. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain.
Problem Outsourcing di BUMN
Permasalahan adanya praktik outsourcing yang diduga menyimpang di BUMN disebabkan oleh beberapa hal :
1. Praktik yang telah salah atau keliru selama ini. Pada umumnya perusahaan BUMN telah berdiri bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka. Praktik-praktik outsourcing yang salah telah dilakukan jauh sebelum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang outsourcing sebagaimana telah diatur dalam UU13/2003 juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012.
2. Susahnya menetapkan ‘core business’. Sebagai sebuah perusahaan BUMN yang seluruh Direksinya dipilih ataupun ditunjuk oleh Pemerintah maka ada kendala ‘keberanian’ untuk melakukan konsep-konsep perubahan termasuk dalam menetapkan ‘core business’ perusahaan. Pada umumnya BUMN mempunyai bisnis utama yang sangat luas dan beragam aktivitasnya. Penetapan ‘core business’ perusahaan menjadi salah satu titik awal dilakukannya pengalihan pekerjaan kepada pihak lain sebagaimana ditentukan dalam UU 13/2003 maupun Permenaker Nomor 19 tahun 2012. Kekhawatiran bahwa merubah ‘core business’ yang berarti mengurangi bisnis utamanya akan menurunkan kredibilitas Direksi perusahaan tersebut.
3. Tidak jelasnya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja di BUMN. Praktik outsourcing di BUMN dengan pembagian ‘subcon (sub contractor)’ dalam bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyedia jasa pekerja/buruh saat ini banyak yang menyimpang dan tidak jelas. Banyak pekerjaan yang seharusnya diserahkan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan tetapi dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan sebaliknya.
4. Ketidaktahuan atau ketidakmauan pimpinan untuk berubah. Perubahan dan pembenahan praktik outsourcing di BUMN bukan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan tetapi tergantung pada kemampuan dan kemauan Dewan Direksi di BUMN tersebut. Ketidaktahuan tentang praktik outsourcing yang benar dan tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku harus menjadi skala prioritas pimpinan BUMN disamping upaya untuk memenuhi target dan keuntungan perusahaan. Kekhawatiran akan banyak pimpinan BUMN yang bersikap mendiamkan permasalahan outsourcing ini selama permasalahannya tidak bergejolak di perusahaannya. Sikap ini tentu saja sangat tidak bijaksana.
5. Adanya confilck of interest. Praktik outsourcing di BUMN juga diindikasikan adanya ‘confilck of interest’ dari oknum pejabat-pejabat di BUMN tersebut. Patut diduga adanya praktik ‘perusahaan dalam perusahaan’ yang dilakukan oleh oknum pejabat tersebut dengan perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan ‘tender’ melakukan pekerjaan di BUMN tersebut berdasarkan rekomendasi dari oknum pejabat-pejabat BUMN.
Langkah Perbaikan
Beberapa langkah perbaikan yang dapat dilakukan oleh BUMN dan Pemerintah :
1. Menghilangkan semua sebab-sebab adanya praktik outsourcing yang sebab-sebab penyimpangan sebagaimana tersebut di atas.
2. Mematuhi semua ketentuan yang telah tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun dalam Permen Nomor 19 tahun 2012.
3. Menetapkan core business. Keberanian untuk menetapkan ‘core business’ dan menentukan alur proses pekerjaan dengan mendapatkan penetapan asosiasi sector usaha harus segera dilakukan. Core business seharusnya dilakukan dengan sederhana yaitu pertama, sebelum menggunakan system outsourcing maka pengusaha harus menetapkan terlebih dahulu pekerjaan inti (core business) dan pekerjaan penunjang (non core business). Kedua, Penentuan tersebut perlu dilakukan secara jelas dan tegas dalam implementasi usahanya. Meskipun konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis, tetapi sebagaimana Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business, yaitu : Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan, Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis, Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang, atau Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
4. Melakukan internal audit secara rutin. Terhadap praktik outsourcing yang digunakan perlu dilakukan internal audit baik terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing tersebut, kualifikasinya, ketaatan terhadap perijinannya, jaminan pekerja/buruhnya dan praktik pemberian hak-hak normative terhadap pekerja di perusahaan outsourcing tersebut.
5. Membentuk lembaga asuransi yang menanggung adanya kelangsungan usaha sekaligus kelangsungan pekerjaan dan penghasilan bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan outsourcing. Peserta dari asuransi ini adalah perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan pekerjaan di BUMN.
Kesimpulan
Solusi yang ditawarkan oleh Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan dalam praktik outsourcing yang ada dengan menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya jenjang karir dan rencana pembentukan perusahaan outsourcing sendiri dengan demikian bukanlah solusi terhadap permasalahan hukum karena tidak menyelesaikan akar persoalan praktik outsourcing itu sendiri.
Seharusnya BUMN segera melakukan perbaikan terhadap praktik outsourcing dan dapat menjadi contoh praktik outsourcing yang tepat dan tidak menyimpang terhadap ketentuan perundangan yang berlaku. BUMN harus memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada setiap tenaga kerja yang melakukan kontribusi kepada BUMN tersebut tidak perduli apakah pekerja tersebut adalah pekerja sendiri ataukah pekerja yang bekerja pada perusahaan outsourcing. Semoga perbaikan tersebut segera diselesaikan sebelum tanggal 19 Nopember 2013 sebagaimana amanat Pasal 34 Permenaker Nomor 19 tahun 2012.

Tentang penulis :
Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, email : sgng_aysant@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar