Selasa, 04 Juni 2013

Pelajaran dari Kasus Kerja Paksa Tangerang Oleh: Sugeng Santoso PN* & Jaka Mulyata**

Pelajaran dari Kasus Kerja Paksa Tangerang
Oleh: Sugeng Santoso PN* & Jaka Mulyata**
Perlu tindakan preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan

Baru saja seluruh elemen buruh merayakan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2013 dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, ternyata ada berita menghebohkan tentang kasus kerja paksa terhadap 34 buruh di pabrik kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang.
Pedih, pilu dan sangat aneh karena hal tersebut terjadi di negara yang telah menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Sungguh tidak bisa membayangkan penderitaan para buruh yang bekerja selama 18 jam sehari, tanpa gaji, tidak bisa mandi dan bahkan disekap selama empat bulan. Perbuatan pemilik usaha alat penggorengan dan panci itu beserta preman-premannya tersebut patut diduga tidak hanya melanggar UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO, KUHP dan UU Perlindungan Anak, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Penghapusan Perbudakan di Indonesia
Sejarah dunia telah mencatat bahwa penghapusan perbudakan telah dicanangkan pada tanggal 1 Juli 1863 di Belanda. Pada masa itu Belanda sebagai salah satu negara pedagang budak terbesar di dunia secara resmi menghapuskan perbudakan di seluruh wilayah jajahannya.
Sejarawan Lizzy van Leeuwen dari Universitas van Amsterdam menjelaskan bahwa penghapusanperbudakan di Oost Indie atau Indonesia secara resmi dilakukan 100 tahun yang lalu dimana pada waktu itu Belanda menghapuskan praktik perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa.
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia maka Indonesia harus melakukan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia termasuk buruh.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (buruh) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat (buruh) yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 dalam alinea ke-empat, bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Selain itu Indonesia yang juga sebagai anggota PBB yang mengakui adanya “The Universal Declaration of Human Rights” seharusnya peristiwa perbudakan di Tangerang tidak terjadi.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus kerja paksa terjadi di Indonesia. Pertama, Kondisi pengangguran terbuka di Indonesia sampai dengan Agustus 2011 sudah
 mencapai 7,7 juta. Kondisi ini memperlemah posisi angkatan kerja yang menganggur dibandingkan dengan kondisi permintaan tenaga kerja yang ada. Kemungkinan calon tenaga kerja menjadi “pasrah” dengan apapun peluang kerja yang ada sebagaimana yang terjadi pada kasus ‘perbudakan’ di Tangerang jelas mengindikasikan hal tersebut.
Kegagalan negara dalam menciptakan banyak peluang kerja yang memadai kepada calon tenaga kerja telah memperparah situasi ini. Kedua, kurang sadarnya sebagian pengusaha tentang hak-hak buruh yang diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Ketiga, banyaknya oknum aparat yang diindikasikan bukan melaksanakan tugas dan tanggungjawab untuk melindungi warga negara tetapi justru menjadi pelindung bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum khususnya di bidang ketenagakerjaan.
Negara Harus Bertanggungjawab
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia maka Indonesia haruslah melakukan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyatnya termasuk para buruh. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep “rechsstaat” dan “the rule of law” menciptakan sarananya.
Dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah “rechsstaat” dan “the rule of law”, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara dictator atau totaliter. (Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia).
Perlindungan hukum bagi para buruh oleh negara dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenakertrans dan jajarannya (Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan Kabupaten/KotaSetempat) untuk melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap tindakan-tindakan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 32 juncto  pasal 176-181 UU Ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan baik pada tingkat nasional, tingkat provinsi sampai dengan tingkat kabupaten/kota. Lebih rinci, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan diatur dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Menelaah peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas sangat tidak mungkin akan terjadi perbudakan terjadi di negeri ini. Alasan bahwa jumlah tenaga pengawas di tingkat kabupaten/kota tidak mencukupi merupakan alasan klasik yang sering diungkapkan oleh pejabat di Kemenakertrans. Tapi metode dan sistem pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat.
Pelajaran dari kasus Tangerang
Kejadian ‘perbudakan’ di Tangerang tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif terhadap oknum siapapun yang bertanggungjawab. Namun perlu tindakan preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten/kota.
Pertama, Dinas Tenaga Kerja setempat perlu mengupayakan sistem dan metode pengawasan terpadu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kelurahan dan atau kecamatan untuk melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara periodik. Pengawasan yang dilakukan seharusnya tidak terbatas pada pengusahanya tetapi juga bertemu langsung dengan tenaga kerjanya.
Kedua, model pengaduan dan informasi melalui membuka hotline, surat elektronik, sms pengaduan, dan media informasi lainnya harus terus dikembangkan dan dikenalkan kepada masyarakat pelaku produksi.
Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan terstruktur tentang UU Ketenagakerjaan dan peraturan yang berkaitan kepada semua pelaku usaha baik dalam bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan, milik badan hukum, baik swasta maupun milik negara, skala kecil dan menengah.
Keempat, pemerintah harus serius melakukan upaya penghapusan biaya-biaya ‘siluman' (upeti) untuk berdirinya suatu usaha ataupun setelah badan usaha terbentuk (operasional) dan membersihkan oknum-oknum aparat/pejabat di pusat dan daerah yang meminta sumbangan atau dana dalam bentuk apapun.
Kelima, perlu dilakukan terobosan karena keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan dengan membentuk ‘Intel’ Ketenagakerjaan yang bertugas mengumpulkan informasi dan data awal dengan tidak mengenal jam kerja sebagaimana pegawai negeri saat ini. Antara Intel Ketenagkerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan sebagai Penyidik saling berkoordinasi setiap ada temuan-temuan, info-info, dan data-data yang ada di lapangan, sehingga laporan-laporan ketengakerjaan yang diwajibkan selama ini mendekati akurat dan konkrit, setelah mendapatkan keterangan awal tersebut petugas pengawas melakukan tugas sebagaimana mestinya salah satunya pembinaan.
Semoga pemerintah melalui Kemenakertrans segera mewujudkan konsep dan sistem yang modern dalam melakukan pengawasan dan kasus ‘perbudakan’ di Tangerang tidak terulang dan terjadi lagi.


*) Sugeng Santoso PN: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya,  
**) Jaka Mulyata: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Gresik

2 komentar:

  1. Selamat Bapak Sugeng Santosa PN, mungkin sekarang bisa link dengan semua yang ditulis baik di hukumonline.com dan lain sebagainya, tks

    BalasHapus
  2. matur nuwun bpk Jaka Mulyata..mantap dan sukses selalu untuk bpk Jaka Mulyata dan blog PSHPI...

    BalasHapus