Rabu, 05 Juni 2013

Siklus Ribut Pengupahan (Jawa Pos)

Siklus Ribut Pengupahan

Oleh :
Sugeng Santoso PN* 


UPAH buruh adalah salah satu persoalan klasik perburuhan yang setiap tahun menimbulkan gejolak di kota-kota padat industri. Siklus tahunan unjuk rasa dan pengerahan massa buruh, memblokade jalan untuk menuntut UMK (upah minimum kabupaten/kota) sesuai perhitungan buruh terjadi di mana-mana. 

Tindakan yang dilakukan sebagian buruh tersebut sebenarnya justru kontraproduktif dengan tuntutan yang diminta. Apalagi, melakukan blokade jalan-jalan utama, melakukan
 sweeping ke pabrik-pabrik agar buruh-buruh yang masih bekerja juga meninggalkan pekerjaannya untuk turun ke jalan-jalan. Tututan aspirasi semestinya tak mengganggu hak orang lain. 

Akar permasalahan UMK, pertama, tidak jelasnya peraturan tentang penetapan upah itu sendiri. Pemberian kewenangan kepada kepala daerah dengan berdasar usul dewan pengupahan dan mempertimbangkan kondisi wilayah dan semacamnya telah menimbulkan celah bagi pihak-pihak untuk melakukan lobi-lobi dan upaya pemaksaan kehendak untuk kepentingan masing-masing.
 

Kedua, upah yang seharusnya merupakan objek yang dapat dinilai secara pasti, meskipun komponen-komponen yang memengaruhinya cukup banyak, itu dapat dikukur dan diteliti dengan menggunakan metode survei atau lainnya. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah pihak yang melakukan survei adalah pihak yang mempunyai kepentingan dalam menetapkan hasil survei itu sendiri sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Pihak yang mewakili buruh akan mempunyai klaim jumlah nilai tertentu terhadap hasil survei dan demikian pula dengan pihak pengusaha.

Ketiga, rendahnya tingkat kepercayaan sebagian buruh (dalam hal ini adalah sebagian aktivis buruh) terhadap orang-orang yang duduk dalam dewan pengupahan saat ini. Ketidakpercayaan sebagaian aktivis buruh terhadap dewan pengupahan yang dapat diintervensi oleh pihak-pihak tertentu dalam menyampaikan usul upah menambah rumit permasalahan upah buruh.
 

Keempat, masih banyaknya biaya siluman yang ada di birokrasi saat ini sehingga alokasi biaya yang seharusnya dapat dipergunakan untuk menyejahterakan buruh terserap kepada oknum-oknum birokrasi dan aparatur negara lainnya maupun oknum-oknum anggota dewan yang senang memeras pengusaha.

Kelemahan UMK
 

UMK sendiri mempunyai kelemahan dalam praktiknya. Ketentuan dalam pasal 88 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam penjelasan pasal tersebut juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
 

Kelemahan UMK adalah, pertama, diberlakukan terhadap semua pengusaha, tidak perduli klasifikasi pengusaha atau perusahaan tersebut apakah perusahaan dengan jumlah ribuan buruh maupun perusahaan UKM atau bahkan tukang tambal ban di pinggir jalan yang mempunyai pekerja.
 

Kedua, UMK yang sebenarnya dimaksudkan sebagai jaring pengamanan untuk pekerja lajang dengan masa kerja satu tahun, tetapi dimanfaatkan oleh beberapa pengusaha kepada seluruh pekerjanya tanpa menghiraukan berapa lama pekerja tersebut telah bekerja padanya.
 

Ketiga, bupati, wali kota, dan gubernur yang dapat menggunakan ''kekuasaannya'' menentukan UMK dengan maksud terjadi
 bargaining untuk pilkada atau ''pencitraan'' di hadapan massa buruh. Ada semacam ketakutan politis terhadap demo-demo buruh. Demikian juga sebaliknya, bupati, wali kota, dan gubernur ada kemungkinan ''bermain mata'' dengan pengusaha untuk menentukan UMK yang tidak sesuai dengan usul dewan pengupahan.

Beberapa Solusi
 

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, buruh, dan pengusaha. Pertama, melakukan kajian dan evaluasi terhadap dewan pengupahan yang telah dibentuk berdasar Keppres 107/ 2004 tentang Dewan Pengupahan dengan menempatkan orang-orang yang tepercaya di dewan pengupahan tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.
 

Kedua, survei harga-harga dilakukan oleh lembaga independen yang tepercaya (Badan Pusat Statistik, universitas ternama, dan lembaga lain yang teruji) bukan oleh dewan pengupahan.
 

Ketiga, peraturan yang ada perlu diperbaiki bukan memberikan keleluasaan kepada bupati/wali kota dan gubernur terlalu besar sehingga dapat dijadikan alasan ''pemaksa'' oleh buruh di satu pihak maupun lobi bagi pengusaha di pihak lain ataupun untuk pencitraan bagi kepala daerah di hadapan para buruh untuk kepentingan pilkada.

Keempat, pengusaha harus menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dari buruh. Ingat, UMK hanyalah merupakan jaring pengaman dan hanya diperuntukkan bagi buruh lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Pengusaha jangan melakukan kesalahan sebagaimana pendapat Morten Lund, 'If you pay in bananas, you get monkeys''. Sebaliknya, pekerja atau buruh juga mengikuti pendapat Mario Teguh, 'Memantaskan diri terhadap apa yang kita dapatkan'. Apakah upah yang diterima pekerja atau buruh sudah pantas dengan produktivitas yang sudah diberikan kepada pengusaha.

Siklus unjuk rasa tahunan ini merugikan masyarakat umum yang jauh lebih banyak jumlah dan kepentingannya. Semoga siklus ini berakhir dengan kebijakan yang tepat.
 ● (sumber : Jawapos 21 Nopember 2012)

*)  Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Surabaya, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga

1 komentar:

  1. Dibutuhkan semangat kearifan dlm menetapkan UMK oleh semua pihak, tidak ada buruh tidak pengusaha, tidak ada pengusaha tidak ada buruh, jadi saling membutuhkan saling menginginkanan dan menggantungkan, semoga tidak menjadi angin ribu tiap tahun....

    BalasHapus