Konsiliasi Sebagai Paradigma Baru Dalam
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Oleh :
Andari Yurikosari[1]
Reformasi
di bidang hukum perburuhan ditandai dengan perubahan yang sangat signifikan
dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yang
sebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi,
dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan
tersebut memberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih
sendiri cara penyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar
pengadilan atau melalui Pengadilan Hubungan Industiral (PHI).
Kemajuan teknologi
industri, telah mempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara
pekerja dengan pengusaha. Bahkan dalam hubungan antarserikat pekerja.
Persoalannya adalah bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga dapat
memberikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha. Dalam
hubungan itu, pembentukan PHI sebagai pengadilan khusus yang tertunda selama
hampir 2 (dua) tahun sejak disahkanya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat
ditunda lagi. Kepastian hukum yang berkeadilan itu harus diwujudkan dengan
segera, karena perselisihan yang berkepanjangan akan mempengaruhi proses
produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja. Oleh
sebab itu pembentukan PHI pada bulan Februari 2006, sudah tidak dapat ditunda.
Apalagi perselisihan perburuhan diyakini akan marak setelah kenaikan harga BBM,
karena akan mendorong pekerja untuk menuntut perbaikan upah, sebaliknya
pengusaha menanggung beban tambahan biaya produksi.
Undang-Undang (UU) No.22
Tahun 1957 tentang Penyelesain Perselisihan Perburuhan dan UU No.12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang menghendaki penyelesaian perselisihan
perburuhan dilakukan secara bipartit, tripartit pada instansi tenaga kerja,
melalui P4D dan P4P sudah tidak efektif lagi. Penyelesaian perselisihan yang
lebih banyak melibatkan badan administrasi negara itu, juga telah membuka
peluang campur tangan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya wakil
pemerintah pada P4D dan P4P serta diberikannya Hak Veto kepada Menteri Tenaga
Kerja, sehingga dapat membatalkan atau menunda Putusan yang telah diambil oleh
P4P. [2]
Metode
penyelesaian yang demikian sudah tidak dapat dilakukan berdasarkan
undang-undang PPHI. Dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara maka Keputusan yang dihasilkan oleh P4P sebagai lembaga
admistratif, masih dapat digugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT TUN). Putusan PT TUN ini juga masih dapat diajukan kasasi dan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagaimana perkara lainnya. Dengan
demikian persoalan yang seharusnya diselesaikan dalam waktu yang relatif
singkat, harus dilakukan melalui mekanisme yang panjang dan melelahkan. Keadaan
ini sangat merugikan, khususnya kepada pekerja yang lemah dari segi ekonomi,
sementara pengusaha cenderung “lebih kuat”.
Secara
spirit dan konsep, apa yang ditawarkan oleh UU No.2/2004 memang lebih
memberikan harapan dan mengurangi rasa pesimis karena bagaimanapun, UU No.
2/2004 telah melakukan reformasi institusi dan reformasi mekanisme dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan yang ditandai dengan pilihan metode
penyelesaian, pembentukan PHI, peniadaan lembaga banding, dan pembatasan waktu
dalam penanganan perkara. Hal ini untuk lebih menjamin terciptanya rasa
keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2/2004, penyelesaian sengketa
diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar
pengadilan. Selama kurang lebih 49 tahun –sejak 1957 hingga 2003– Bangsa
Indonesia sama sekali belum mempunyai lembaga peradilan ketenagakerjaan
sendiri. Kecuali, lembaga nonpengadilan yang bernama Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P). Keinginan memiliki lembaga peradilan ketenagakerjaan
sendiri terwujud, setelah lahir UU2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang berlaku effektif sejak 14 Januari 2005 silam. UU ini
tidak hanya mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan, tetapi juga
melalui lembaga peradilan ketenagakerjaan yaitu Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI). Satu hal yang sangat menggembirakan bagi perkembangan hukum
ketenagakerjaan kita adalah dimasukannya PHI sebagai pengadilan khusus di bawah
pengadilan negeri dalam struktur hirarkis lingkungan peradilan umum. Selain
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.
Setiap
pengusaha seyogyanya menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun bilamana
perselisihan kepentingan hingga PHK tak bisa dihindari, pihak yang merasa
dirugikan hak perdatanya menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dapat menempuh dua upaya
penyelesaian, yaitu di luar pengadilan (nonligitasi) dan melalui pengadilan
(litigasi).
A. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar
Pengadilan
Untuk
lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU
No 2/2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari
musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam
perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan yaitu melalui
bipartit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi:
1.
Bipartit adalah penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan
pekerja atau kuasa pekerja (Serikat Pekerja) di tingkat perusahaan. Setiap
perundingan di tingkat bipartit ini wajib dibuat Risalah Perundingan yang
memuat: nama lengkap dan alamat pihak beperkara; tanggal dan tempat
perundingan; pokok masalah atau alasan perselisihan; pendapat para pihak
beperkara; kesimpulan/hasil perundingan; tanggal dan tanda tangan kedua belah
pihak yang melakukan perundingan.
Bilamana
dalam perundingan ini terjadi kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini
wajib didaftarkan di PHI guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian
Bersama. Apabila ternyata kemudian salah satu pihak tidak melaksanakan
kesepakatan dalam Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan hak perdatanya dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI di wilayah hukumnya.
Penyelesaian
perselisihan melalui Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal
perundingan. Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu (deadlock) atau salah satu pihak yang beperkara menolak
untuk berunding, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila dalam
perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan
melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker menawarkan
kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara tidak menetapkan pilihan melalui
konsiliasi atau arbitrase, Disnaker melimpahkan penyelesaiannya melalui
mediasi.
2.
Konsiliasi, adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang diangkat dan
diberhentikan dalam periode tertentu melalui Kepmenaker RI. Fungsi lembaga ini
adalah menerima jasa bantuan/pelayanan hukum bidang ketenagakerjaan dari salah
satu pihak atau pihak beperkara yang mengajukan permohonan penyelesaian secara
tertulis. Terutama perselisihan hak, kepentingan antara pengusaha dan pekerja,
PHK. Setiap jasa bantuan hukum yang diberikan oleh lembaga konsiliasi ini
dibayar oleh negara, yang besarnya ditentukan oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI.
Apabila
dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak,
maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara.
Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang
puas atau tidak sesuai dengan tuntutannya dapat mengajukan surat gugatan ke
PHI.
Penyelesaian
perselisihan melalui konsiliasi ini harus tuntas dalam waktu 30 hari kerja,
terhitung sejak menerima permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang beperkara
dalam satu perusahaan.
3.
Arbitrase, adalah lembaga perorangan atau lembaga swasta mandiri yang diangkat
dan diberhentikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Lembaga ini juga
berfungsi menerima jasa bantuan hukum bidang ketenagakerjaan dari pihak yang
beperkara. Namun, perkara yang ditangani lembaga ini khusus mengenai
perselisihan kepentingan antara anggota dengan Serikat Pekerja dan perselisihan
kepentingan antar-Serikat Pekerja/organisasi buruh saja. Setiap jasa bantuan
hukum yang diberikan lembaga ini, dibayar oleh pihak yang meminta penyelesaian
perkaranya.
Berbeda
dengan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar jalur
Pengadilan yang lainnya, kelebihan Lembaga Arbitrase ini adalah ia diberi
wewenang penuh oleh UU No 2/2004 untuk memeriksa, mengadili, dan mengeluarkan
Putusan Arbitrase yang mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak
beperkara, serta merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Kecuali di
kemudian hari diketahui ternyata pihak lawan perkara diduga menggunakan tipu
muslihat, dokumen palsu, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dsb.
Untuk hal ini, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atau
minta Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
4.Mediasi,
adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja atau kuasa
pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang
ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Dulu, disebut Tingkat
Tripartit atau Tingkat Perantaraan. Lembaga ini merupakan penyelesaian terakhir
di luar pengadilan, apabila salah satu atau para pihak beperkara tidak dapat
menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian
perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase.
Apabila
terjadi kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani kedua belah pihak beperkara dan oleh mediator selaku saksi.
Perjanjian Bersama juga harus didaftarkan ke PHI untuk mendapatkan Akta Bukti
Pendaftaran. Namun apabila kemudian ternyata salah satu pihak beperkara tidak
melaksanakan isi Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada PHI setempat.
Penyelesaian
perselisihan melalui mediasi ini dalam jangka waktu paling lambat 30 hari
kerja, terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari salah
satu pihak atau para pihak di Tingkat Bipartit/Konsiliasi/Arbitrase.
B. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan
Proses
beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama
dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan
hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan.
Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian
sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu
PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama
dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan.
Gugatan
perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus
perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi
dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI,
umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara
mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan
pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi.
Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian
Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat
Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir
terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim
kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung
dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan
Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari
kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran
PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga
merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum.
Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan
tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya.
Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran
serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan
hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak).
Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan
PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan perburuhan
yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadili
oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari keadilan, Pekerja
terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya,
melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan
dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang
demikian adalah wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi
dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan
eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para
pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena
disinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai
sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita,
eksekusi bukanlah sesuatu yang “pasti” mudah dilakukan meskipun sebuah putusan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang
menggoda terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh
oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru
mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang
sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu
pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri
harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan.
Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian
perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu
merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan
adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan
keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan
yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian
perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak
ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan
Umum.[3] Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat
Indonesia, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.
C. Konsiliasi Sebagai Suatu Paradigma Baru
Berbeda dengan lembaga mediasi yang bersifat
wajib, setelah kegagalan upaya bipartite, lembaga konsiliasi dan arbitrase
merupakan pilihan. Sebagai lembaga pilihan, konsiliasi dan arbitrase hanya
dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari
penyelesaian melalui lembaga tersebut. Dengan demikian, apabila upaya bipartite
gagal, maka para pihak diberi kesempatan untuk memilih upaya penyelesaian yang
mereka inginkan, apakah konsiliasi atau arbitrase. Apabila mereka tidak memilih
salah satu dari upaya tersebut, maka penyelesaian wajib dilakukan melalui
mediasi.
Konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang
dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator
yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan segala jenis
perselisihan, dalam konsiliasi ada pengecualian, yaitu perselisihan hak.
Perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui lembaga bipartite, mediasi
atau PHI.
Dibandingkan dengan
Undang-undang Perburuhan yang lama, penyelesaian melalui jalur konsiliasi;
peranan konsiliator mirip dengan pegawai perantara pada Dinas Ketenagakerjaan.
Bedanya terletak pada pejabatnya, yaitu bersifat adhock, bukan pejabat pemerintah seperti pegawai
perantara.[4]
Lembaga
konsiliasi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah,
akan tetapi apabila tidak tercapai konsiliator akan mengeluarkan anjuran yang
berisi pendapat konsiliator atas perselisihan yang dihadapkan kepadanya. Karena
pendapat yang dikeluarkan oleh konsiliator tersebut hanya berupa anjuran, dan
bukan putusan, maka para pihak yang terkait dalam perselisihan tersebut tidak
wajib untuk memenuhi anjuran. Pihak yang merasa dirugikan atas anjuran tersebut
berhak menolak melaksanakan isi anjuran dan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
Apabila
penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dapat dilakukan, maka konsiliator
membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama dan mendaftarkannya ke
Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan akta bukti Perjanjian Bersama.
Konsiliator harus sudah menyelesaikan dan atau mengeluarkan anjuran atas
perselisihan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak lembaga konsiliasi
menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik,
Sehat. Hukum Acara Perburuhan, Jakarta : DSS Publishing, 2007,
h.45
Yusman,
“Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke Pengadilan Umum”,
Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005, h. 1
[1] Dosen Biasa Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Anggota
Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti, Anggota Pusat Kajian
Hukum dan Perundang-undangan Pusat Studi HAM Universitas Trisakti. Makalah
disampaikan Pada Bimtek Bagi Konsiliator diselenggarakan oleh Depnakertrans,
Cisarua, 6 Juli 2007
[2] Yusman, “Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke
Pengadilan Umum”, Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005, h.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar