Selasa, 11 Juni 2013

Memperbaiki Praktik Outsourcing di BUMN (www.gagasanhukum.wordpress.com)

Oleh Sugeng Santoso PN
Sugeng Santoso PNPendahuluan
Penyerahan pekerjaan kepada pihak lain atau dikenal dengan outsourcing/alih daya saat ini telah menjadi satu permasalahan yang sepertinya tidak selesai diperdebatkan. Aktivitis Serikat Pekerja dan Pengusaha berbeda pendapat tentang pemahaman terhadap outsourcing ini, di sisi lain Pemerintah terlihat tidak benar-benar serius mencari solusi terbaik tentang persoalan ini.
BUMN sebagai perusahaan ‘plat merah’ atau milik perusahaan Pemerintah justru banyak disorot karena diduga banyak melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan outsourcing. Beberapa kali Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN dipanggil oleh DPR dan didesak untuk segera menyelesaikan permasalahan praktik outsourcing di BUMN. Upaya yang telah dilakukan oleh Menteri BUMN adalah mengumpulkan seluruh direksi BUMN dan menawarkan beberapa solusi praktik outsourcing yang ada dengan menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya jenjang karir dan rencana pembentukan perusahaan outsourcing sendiri. Tentu saja solusi yang ditawarkan oleh Dahlan Iskan selaku menteri BUMN tersebut perlu dikritisi dari aspek hukum perburuhan.
Pokok permasalahan
Ketentuan yang mengatur tentang outsourcing diatur dalam Pasal 64 –Pasal 66 jo. Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 59 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU 13/2003 mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan Pasal 64 kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 65 berupa dua bentuk perjanjian untuk dapat dilaksanakannya penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian penyediaan jasa pekerja/ buruh. Berdasarkan Pasal 64 dan Pasal 65 maka dikenal adanya dua jenis outsourcing yaitu “outsourcing pekerjaan” yang berdasar pada suatu perjanjian pemborongan pekerjaan dan “outsourcing pekerja” yang berdasar pada suatu perjanjian penyediaan jasa pekerja
Hubungan hukum dalam outsourcing pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan pekerja karena perintah kerja datangnya dari pemberi kerja dan menikmati hasil pekerjaan juga pemberi kerja. Jenis outsourcing pekerjaan seharusnya tidaklah perlu dipersoalkan karena banyak terjadi di masyarakat tidak hanya dalam dunia industri. Sebaliknya, jenis outsourcing berupa outsourcing pekerja dapat ditafsirkan adalah salah satu bentuk penempatan pekerja sebagai obyek dari suatu hubungan hukum. Penempatan pekerja/buruh sebagai obyek oleh sebagian pakar hukum perburuhan dikatagorikan sebagai salah satu perbudakan manusia. Permasalahan penempatan buruh sebagai obyek hubungan hukum dalam UU 13/2003 inilah yang oleh sebagian besar aktivis buruh dituntut untuk dihilangkan dengan salah satu cara yaitu melakukan perubahan UU 13/2003.
Upaya untuk melakukan penghapusan outsourcing telah dilakukan pula melalui beberapa kali uji materiil UU 13/2003 terhadap UUD 1945 dan terakhir sebagaimana diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor : 27/PUU-IX/2011. Putusan MK tersebut memiliki dua sisi yang berbeda, Sisi pertama, putusan MK menyatakan hubungan kerja berupa karyawan kontrak (PKWT) tidak lagi mengikat di dalam perusahaan outsourcing. Atau boleh dikatakan hubungan kerja outsourcing harus berbentuk buruh/pekerja tetap (PKWTT). Di sisi lain, boleh menggunakan buruh/pekerja kontrak dalam outsourcing sepanjang PKWT memuat syarat pengalihan perlindungan hak buruh bila obyek kerjanya tetap ada. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain.
Problem Outsourcing di BUMN
Permasalahan adanya praktik outsourcing yang diduga menyimpang di BUMN disebabkan oleh beberapa hal :
1. Praktik yang telah salah atau keliru selama ini. Pada umumnya perusahaan BUMN telah berdiri bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka. Praktik-praktik outsourcing yang salah telah dilakukan jauh sebelum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang outsourcing sebagaimana telah diatur dalam UU13/2003 juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012.
2. Susahnya menetapkan ‘core business’. Sebagai sebuah perusahaan BUMN yang seluruh Direksinya dipilih ataupun ditunjuk oleh Pemerintah maka ada kendala ‘keberanian’ untuk melakukan konsep-konsep perubahan termasuk dalam menetapkan ‘core business’ perusahaan. Pada umumnya BUMN mempunyai bisnis utama yang sangat luas dan beragam aktivitasnya. Penetapan ‘core business’ perusahaan menjadi salah satu titik awal dilakukannya pengalihan pekerjaan kepada pihak lain sebagaimana ditentukan dalam UU 13/2003 maupun Permenaker Nomor 19 tahun 2012. Kekhawatiran bahwa merubah ‘core business’ yang berarti mengurangi bisnis utamanya akan menurunkan kredibilitas Direksi perusahaan tersebut.
3. Tidak jelasnya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja di BUMN. Praktik outsourcing di BUMN dengan pembagian ‘subcon (sub contractor)’ dalam bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyedia jasa pekerja/buruh saat ini banyak yang menyimpang dan tidak jelas. Banyak pekerjaan yang seharusnya diserahkan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan tetapi dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan sebaliknya.
4. Ketidaktahuan atau ketidakmauan pimpinan untuk berubah. Perubahan dan pembenahan praktik outsourcing di BUMN bukan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan tetapi tergantung pada kemampuan dan kemauan Dewan Direksi di BUMN tersebut. Ketidaktahuan tentang praktik outsourcing yang benar dan tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku harus menjadi skala prioritas pimpinan BUMN disamping upaya untuk memenuhi target dan keuntungan perusahaan. Kekhawatiran akan banyak pimpinan BUMN yang bersikap mendiamkan permasalahan outsourcing ini selama permasalahannya tidak bergejolak di perusahaannya. Sikap ini tentu saja sangat tidak bijaksana.
5. Adanya confilck of interest. Praktik outsourcing di BUMN juga diindikasikan adanya ‘confilck of interest’ dari oknum pejabat-pejabat di BUMN tersebut. Patut diduga adanya praktik ‘perusahaan dalam perusahaan’ yang dilakukan oleh oknum pejabat tersebut dengan perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan ‘tender’ melakukan pekerjaan di BUMN tersebut berdasarkan rekomendasi dari oknum pejabat-pejabat BUMN.
Langkah Perbaikan
Beberapa langkah perbaikan yang dapat dilakukan oleh BUMN dan Pemerintah :
1. Menghilangkan semua sebab-sebab adanya praktik outsourcing yang sebab-sebab penyimpangan sebagaimana tersebut di atas.
2. Mematuhi semua ketentuan yang telah tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun dalam Permen Nomor 19 tahun 2012.
3. Menetapkan core business. Keberanian untuk menetapkan ‘core business’ dan menentukan alur proses pekerjaan dengan mendapatkan penetapan asosiasi sector usaha harus segera dilakukan. Core business seharusnya dilakukan dengan sederhana yaitu pertama, sebelum menggunakan system outsourcing maka pengusaha harus menetapkan terlebih dahulu pekerjaan inti (core business) dan pekerjaan penunjang (non core business). Kedua, Penentuan tersebut perlu dilakukan secara jelas dan tegas dalam implementasi usahanya. Meskipun konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis, tetapi sebagaimana Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business, yaitu : Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan, Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis, Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang, atau Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
4. Melakukan internal audit secara rutin. Terhadap praktik outsourcing yang digunakan perlu dilakukan internal audit baik terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing tersebut, kualifikasinya, ketaatan terhadap perijinannya, jaminan pekerja/buruhnya dan praktik pemberian hak-hak normative terhadap pekerja di perusahaan outsourcing tersebut.
5. Membentuk lembaga asuransi yang menanggung adanya kelangsungan usaha sekaligus kelangsungan pekerjaan dan penghasilan bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan outsourcing. Peserta dari asuransi ini adalah perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan pekerjaan di BUMN.
Kesimpulan
Solusi yang ditawarkan oleh Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan dalam praktik outsourcing yang ada dengan menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya jenjang karir dan rencana pembentukan perusahaan outsourcing sendiri dengan demikian bukanlah solusi terhadap permasalahan hukum karena tidak menyelesaikan akar persoalan praktik outsourcing itu sendiri.
Seharusnya BUMN segera melakukan perbaikan terhadap praktik outsourcing dan dapat menjadi contoh praktik outsourcing yang tepat dan tidak menyimpang terhadap ketentuan perundangan yang berlaku. BUMN harus memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada setiap tenaga kerja yang melakukan kontribusi kepada BUMN tersebut tidak perduli apakah pekerja tersebut adalah pekerja sendiri ataukah pekerja yang bekerja pada perusahaan outsourcing. Semoga perbaikan tersebut segera diselesaikan sebelum tanggal 19 Nopember 2013 sebagaimana amanat Pasal 34 Permenaker Nomor 19 tahun 2012.

Tentang penulis :
Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, email : sgng_aysant@yahoo.com

Rabu, 05 Juni 2013

Siklus Ribut Pengupahan (Jawa Pos)

Siklus Ribut Pengupahan

Oleh :
Sugeng Santoso PN* 


UPAH buruh adalah salah satu persoalan klasik perburuhan yang setiap tahun menimbulkan gejolak di kota-kota padat industri. Siklus tahunan unjuk rasa dan pengerahan massa buruh, memblokade jalan untuk menuntut UMK (upah minimum kabupaten/kota) sesuai perhitungan buruh terjadi di mana-mana. 

Tindakan yang dilakukan sebagian buruh tersebut sebenarnya justru kontraproduktif dengan tuntutan yang diminta. Apalagi, melakukan blokade jalan-jalan utama, melakukan
 sweeping ke pabrik-pabrik agar buruh-buruh yang masih bekerja juga meninggalkan pekerjaannya untuk turun ke jalan-jalan. Tututan aspirasi semestinya tak mengganggu hak orang lain. 

Akar permasalahan UMK, pertama, tidak jelasnya peraturan tentang penetapan upah itu sendiri. Pemberian kewenangan kepada kepala daerah dengan berdasar usul dewan pengupahan dan mempertimbangkan kondisi wilayah dan semacamnya telah menimbulkan celah bagi pihak-pihak untuk melakukan lobi-lobi dan upaya pemaksaan kehendak untuk kepentingan masing-masing.
 

Kedua, upah yang seharusnya merupakan objek yang dapat dinilai secara pasti, meskipun komponen-komponen yang memengaruhinya cukup banyak, itu dapat dikukur dan diteliti dengan menggunakan metode survei atau lainnya. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah pihak yang melakukan survei adalah pihak yang mempunyai kepentingan dalam menetapkan hasil survei itu sendiri sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Pihak yang mewakili buruh akan mempunyai klaim jumlah nilai tertentu terhadap hasil survei dan demikian pula dengan pihak pengusaha.

Ketiga, rendahnya tingkat kepercayaan sebagian buruh (dalam hal ini adalah sebagian aktivis buruh) terhadap orang-orang yang duduk dalam dewan pengupahan saat ini. Ketidakpercayaan sebagaian aktivis buruh terhadap dewan pengupahan yang dapat diintervensi oleh pihak-pihak tertentu dalam menyampaikan usul upah menambah rumit permasalahan upah buruh.
 

Keempat, masih banyaknya biaya siluman yang ada di birokrasi saat ini sehingga alokasi biaya yang seharusnya dapat dipergunakan untuk menyejahterakan buruh terserap kepada oknum-oknum birokrasi dan aparatur negara lainnya maupun oknum-oknum anggota dewan yang senang memeras pengusaha.

Kelemahan UMK
 

UMK sendiri mempunyai kelemahan dalam praktiknya. Ketentuan dalam pasal 88 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam penjelasan pasal tersebut juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
 

Kelemahan UMK adalah, pertama, diberlakukan terhadap semua pengusaha, tidak perduli klasifikasi pengusaha atau perusahaan tersebut apakah perusahaan dengan jumlah ribuan buruh maupun perusahaan UKM atau bahkan tukang tambal ban di pinggir jalan yang mempunyai pekerja.
 

Kedua, UMK yang sebenarnya dimaksudkan sebagai jaring pengamanan untuk pekerja lajang dengan masa kerja satu tahun, tetapi dimanfaatkan oleh beberapa pengusaha kepada seluruh pekerjanya tanpa menghiraukan berapa lama pekerja tersebut telah bekerja padanya.
 

Ketiga, bupati, wali kota, dan gubernur yang dapat menggunakan ''kekuasaannya'' menentukan UMK dengan maksud terjadi
 bargaining untuk pilkada atau ''pencitraan'' di hadapan massa buruh. Ada semacam ketakutan politis terhadap demo-demo buruh. Demikian juga sebaliknya, bupati, wali kota, dan gubernur ada kemungkinan ''bermain mata'' dengan pengusaha untuk menentukan UMK yang tidak sesuai dengan usul dewan pengupahan.

Beberapa Solusi
 

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, buruh, dan pengusaha. Pertama, melakukan kajian dan evaluasi terhadap dewan pengupahan yang telah dibentuk berdasar Keppres 107/ 2004 tentang Dewan Pengupahan dengan menempatkan orang-orang yang tepercaya di dewan pengupahan tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.
 

Kedua, survei harga-harga dilakukan oleh lembaga independen yang tepercaya (Badan Pusat Statistik, universitas ternama, dan lembaga lain yang teruji) bukan oleh dewan pengupahan.
 

Ketiga, peraturan yang ada perlu diperbaiki bukan memberikan keleluasaan kepada bupati/wali kota dan gubernur terlalu besar sehingga dapat dijadikan alasan ''pemaksa'' oleh buruh di satu pihak maupun lobi bagi pengusaha di pihak lain ataupun untuk pencitraan bagi kepala daerah di hadapan para buruh untuk kepentingan pilkada.

Keempat, pengusaha harus menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dari buruh. Ingat, UMK hanyalah merupakan jaring pengaman dan hanya diperuntukkan bagi buruh lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Pengusaha jangan melakukan kesalahan sebagaimana pendapat Morten Lund, 'If you pay in bananas, you get monkeys''. Sebaliknya, pekerja atau buruh juga mengikuti pendapat Mario Teguh, 'Memantaskan diri terhadap apa yang kita dapatkan'. Apakah upah yang diterima pekerja atau buruh sudah pantas dengan produktivitas yang sudah diberikan kepada pengusaha.

Siklus unjuk rasa tahunan ini merugikan masyarakat umum yang jauh lebih banyak jumlah dan kepentingannya. Semoga siklus ini berakhir dengan kebijakan yang tepat.
 ● (sumber : Jawapos 21 Nopember 2012)

*)  Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Surabaya, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga

Selasa, 04 Juni 2013

Pelajaran dari Kasus Kerja Paksa Tangerang Oleh: Sugeng Santoso PN* & Jaka Mulyata**

Pelajaran dari Kasus Kerja Paksa Tangerang
Oleh: Sugeng Santoso PN* & Jaka Mulyata**
Perlu tindakan preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan

Baru saja seluruh elemen buruh merayakan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2013 dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, ternyata ada berita menghebohkan tentang kasus kerja paksa terhadap 34 buruh di pabrik kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang.
Pedih, pilu dan sangat aneh karena hal tersebut terjadi di negara yang telah menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Sungguh tidak bisa membayangkan penderitaan para buruh yang bekerja selama 18 jam sehari, tanpa gaji, tidak bisa mandi dan bahkan disekap selama empat bulan. Perbuatan pemilik usaha alat penggorengan dan panci itu beserta preman-premannya tersebut patut diduga tidak hanya melanggar UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO, KUHP dan UU Perlindungan Anak, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Penghapusan Perbudakan di Indonesia
Sejarah dunia telah mencatat bahwa penghapusan perbudakan telah dicanangkan pada tanggal 1 Juli 1863 di Belanda. Pada masa itu Belanda sebagai salah satu negara pedagang budak terbesar di dunia secara resmi menghapuskan perbudakan di seluruh wilayah jajahannya.
Sejarawan Lizzy van Leeuwen dari Universitas van Amsterdam menjelaskan bahwa penghapusanperbudakan di Oost Indie atau Indonesia secara resmi dilakukan 100 tahun yang lalu dimana pada waktu itu Belanda menghapuskan praktik perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa.
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia maka Indonesia harus melakukan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia termasuk buruh.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (buruh) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat (buruh) yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 dalam alinea ke-empat, bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Selain itu Indonesia yang juga sebagai anggota PBB yang mengakui adanya “The Universal Declaration of Human Rights” seharusnya peristiwa perbudakan di Tangerang tidak terjadi.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus kerja paksa terjadi di Indonesia. Pertama, Kondisi pengangguran terbuka di Indonesia sampai dengan Agustus 2011 sudah
 mencapai 7,7 juta. Kondisi ini memperlemah posisi angkatan kerja yang menganggur dibandingkan dengan kondisi permintaan tenaga kerja yang ada. Kemungkinan calon tenaga kerja menjadi “pasrah” dengan apapun peluang kerja yang ada sebagaimana yang terjadi pada kasus ‘perbudakan’ di Tangerang jelas mengindikasikan hal tersebut.
Kegagalan negara dalam menciptakan banyak peluang kerja yang memadai kepada calon tenaga kerja telah memperparah situasi ini. Kedua, kurang sadarnya sebagian pengusaha tentang hak-hak buruh yang diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Ketiga, banyaknya oknum aparat yang diindikasikan bukan melaksanakan tugas dan tanggungjawab untuk melindungi warga negara tetapi justru menjadi pelindung bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum khususnya di bidang ketenagakerjaan.
Negara Harus Bertanggungjawab
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia maka Indonesia haruslah melakukan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyatnya termasuk para buruh. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep “rechsstaat” dan “the rule of law” menciptakan sarananya.
Dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah “rechsstaat” dan “the rule of law”, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara dictator atau totaliter. (Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia).
Perlindungan hukum bagi para buruh oleh negara dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenakertrans dan jajarannya (Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan Kabupaten/KotaSetempat) untuk melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap tindakan-tindakan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 32 juncto  pasal 176-181 UU Ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan baik pada tingkat nasional, tingkat provinsi sampai dengan tingkat kabupaten/kota. Lebih rinci, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan diatur dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Menelaah peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas sangat tidak mungkin akan terjadi perbudakan terjadi di negeri ini. Alasan bahwa jumlah tenaga pengawas di tingkat kabupaten/kota tidak mencukupi merupakan alasan klasik yang sering diungkapkan oleh pejabat di Kemenakertrans. Tapi metode dan sistem pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat.
Pelajaran dari kasus Tangerang
Kejadian ‘perbudakan’ di Tangerang tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif terhadap oknum siapapun yang bertanggungjawab. Namun perlu tindakan preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten/kota.
Pertama, Dinas Tenaga Kerja setempat perlu mengupayakan sistem dan metode pengawasan terpadu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kelurahan dan atau kecamatan untuk melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara periodik. Pengawasan yang dilakukan seharusnya tidak terbatas pada pengusahanya tetapi juga bertemu langsung dengan tenaga kerjanya.
Kedua, model pengaduan dan informasi melalui membuka hotline, surat elektronik, sms pengaduan, dan media informasi lainnya harus terus dikembangkan dan dikenalkan kepada masyarakat pelaku produksi.
Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan terstruktur tentang UU Ketenagakerjaan dan peraturan yang berkaitan kepada semua pelaku usaha baik dalam bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan, milik badan hukum, baik swasta maupun milik negara, skala kecil dan menengah.
Keempat, pemerintah harus serius melakukan upaya penghapusan biaya-biaya ‘siluman' (upeti) untuk berdirinya suatu usaha ataupun setelah badan usaha terbentuk (operasional) dan membersihkan oknum-oknum aparat/pejabat di pusat dan daerah yang meminta sumbangan atau dana dalam bentuk apapun.
Kelima, perlu dilakukan terobosan karena keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan dengan membentuk ‘Intel’ Ketenagakerjaan yang bertugas mengumpulkan informasi dan data awal dengan tidak mengenal jam kerja sebagaimana pegawai negeri saat ini. Antara Intel Ketenagkerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan sebagai Penyidik saling berkoordinasi setiap ada temuan-temuan, info-info, dan data-data yang ada di lapangan, sehingga laporan-laporan ketengakerjaan yang diwajibkan selama ini mendekati akurat dan konkrit, setelah mendapatkan keterangan awal tersebut petugas pengawas melakukan tugas sebagaimana mestinya salah satunya pembinaan.
Semoga pemerintah melalui Kemenakertrans segera mewujudkan konsep dan sistem yang modern dalam melakukan pengawasan dan kasus ‘perbudakan’ di Tangerang tidak terulang dan terjadi lagi.


*) Sugeng Santoso PN: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya,  
**) Jaka Mulyata: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Gresik

Konsiliasi Sebagai Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Konsiliasi Sebagai Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Oleh :
Andari Yurikosari[1]

Reformasi di bidang hukum perburuhan ditandai dengan perubahan yang sangat signifikan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yang sebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan tersebut memberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri cara penyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melalui Pengadilan Hubungan Industiral (PHI).
Kemajuan teknologi industri, telah mempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha. Bahkan dalam hubungan antarserikat pekerja. Persoalannya adalah bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha. Dalam hubungan itu, pembentukan PHI sebagai pengadilan khusus yang tertunda selama hampir 2 (dua) tahun sejak disahkanya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Kepastian hukum yang berkeadilan itu harus diwujudkan dengan segera, karena perselisihan yang berkepanjangan akan mempengaruhi proses produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja. Oleh sebab itu pembentukan PHI pada bulan Februari 2006, sudah tidak dapat ditunda. Apalagi perselisihan perburuhan diyakini akan marak setelah kenaikan harga BBM, karena akan mendorong pekerja untuk menuntut perbaikan upah, sebaliknya pengusaha menanggung beban tambahan biaya produksi.
Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesain Perselisihan Perburuhan dan UU No.12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menghendaki penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan secara bipartit, tripartit pada instansi tenaga kerja, melalui P4D dan P4P sudah tidak efektif lagi. Penyelesaian perselisihan yang lebih banyak melibatkan badan administrasi negara itu, juga telah membuka peluang campur tangan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya wakil pemerintah pada P4D dan P4P serta diberikannya Hak Veto kepada Menteri Tenaga Kerja, sehingga dapat membatalkan atau menunda Putusan yang telah diambil oleh P4P. [2]
Metode penyelesaian yang demikian sudah tidak dapat dilakukan berdasarkan undang-undang PPHI. Dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka Keputusan yang dihasilkan oleh P4P sebagai lembaga admistratif, masih dapat digugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Putusan PT TUN ini juga masih dapat diajukan kasasi dan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagaimana perkara lainnya. Dengan demikian persoalan yang seharusnya diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, harus dilakukan melalui mekanisme yang panjang dan melelahkan. Keadaan ini sangat merugikan, khususnya kepada pekerja yang lemah dari segi ekonomi, sementara pengusaha cenderung “lebih kuat”.
Secara spirit dan konsep, apa yang ditawarkan oleh UU No.2/2004 memang lebih memberikan harapan dan mengurangi rasa pesimis karena bagaimanapun, UU No. 2/2004 telah melakukan reformasi institusi dan reformasi mekanisme dalam penyelesaian perselisihan perburuhan yang ditandai dengan pilihan metode penyelesaian, pembentukan PHI, peniadaan lembaga banding, dan pembatasan waktu dalam penanganan perkara. Hal ini untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2/2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Selama kurang lebih 49 tahun –sejak 1957 hingga 2003– Bangsa Indonesia sama sekali belum mempunyai lembaga peradilan ketenagakerjaan sendiri. Kecuali, lembaga nonpengadilan yang bernama Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Keinginan memiliki lembaga peradilan ketenagakerjaan sendiri terwujud, setelah lahir UU2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berlaku effektif sejak 14 Januari 2005 silam. UU ini tidak hanya mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan, tetapi juga melalui lembaga peradilan ketenagakerjaan yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Satu hal yang sangat menggembirakan bagi perkembangan hukum ketenagakerjaan kita adalah dimasukannya PHI sebagai pengadilan khusus di bawah pengadilan negeri dalam struktur hirarkis lingkungan peradilan umum. Selain Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.
Setiap pengusaha seyogyanya menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun bilamana perselisihan kepentingan hingga PHK tak bisa dihindari, pihak yang merasa dirugikan hak perdatanya menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dapat menempuh dua upaya penyelesaian, yaitu di luar pengadilan (nonligitasi) dan melalui pengadilan (litigasi).
A. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan
Untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2/2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi:
1. Bipartit adalah penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan pekerja atau kuasa pekerja (Serikat Pekerja) di tingkat perusahaan. Setiap perundingan di tingkat bipartit ini wajib dibuat Risalah Perundingan yang memuat: nama lengkap dan alamat pihak beperkara; tanggal dan tempat perundingan; pokok masalah atau alasan perselisihan; pendapat para pihak beperkara; kesimpulan/hasil perundingan; tanggal dan tanda tangan kedua belah pihak yang melakukan perundingan.
Bilamana dalam perundingan ini terjadi kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini wajib didaftarkan di PHI guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Apabila ternyata kemudian salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan dalam Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI di wilayah hukumnya.
Penyelesaian perselisihan melalui Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal perundingan. Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu (deadlock) atau salah satu pihak yang beperkara menolak untuk berunding, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila dalam perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker menawarkan kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase, Disnaker melimpahkan penyelesaiannya melalui mediasi.
2. Konsiliasi, adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang diangkat dan diberhentikan dalam periode tertentu melalui Kepmenaker RI. Fungsi lembaga ini adalah menerima jasa bantuan/pelayanan hukum bidang ketenagakerjaan dari salah satu pihak atau pihak beperkara yang mengajukan permohonan penyelesaian secara tertulis. Terutama perselisihan hak, kepentingan antara pengusaha dan pekerja, PHK. Setiap jasa bantuan hukum yang diberikan oleh lembaga konsiliasi ini dibayar oleh negara, yang besarnya ditentukan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  RI.
Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang puas atau tidak sesuai dengan tuntutannya dapat mengajukan surat gugatan ke PHI.
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi ini harus tuntas dalam waktu 30 hari kerja, terhitung sejak menerima permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang beperkara dalam satu perusahaan.
3. Arbitrase, adalah lembaga perorangan atau lembaga swasta mandiri yang diangkat dan diberhentikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Lembaga ini juga berfungsi menerima jasa bantuan hukum bidang ketenagakerjaan dari pihak yang beperkara. Namun, perkara yang ditangani lembaga ini khusus mengenai perselisihan kepentingan antara anggota dengan Serikat Pekerja dan perselisihan kepentingan antar-Serikat Pekerja/organisasi buruh saja. Setiap jasa bantuan hukum yang diberikan lembaga ini, dibayar oleh pihak yang meminta penyelesaian perkaranya.
Berbeda dengan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar jalur Pengadilan yang lainnya, kelebihan Lembaga Arbitrase ini adalah ia diberi wewenang penuh oleh UU No 2/2004 untuk memeriksa, mengadili, dan mengeluarkan Putusan Arbitrase yang mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak beperkara, serta merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Kecuali di kemudian hari diketahui ternyata pihak lawan perkara diduga menggunakan tipu muslihat, dokumen palsu, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dsb. Untuk hal ini, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atau minta Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
4.Mediasi, adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja atau kuasa pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Dulu, disebut Tingkat Tripartit atau Tingkat Perantaraan. Lembaga ini merupakan penyelesaian terakhir di luar pengadilan, apabila salah satu atau para pihak beperkara tidak dapat menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase.
Apabila terjadi kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara dan oleh mediator selaku saksi. Perjanjian Bersama juga harus didaftarkan ke PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Namun apabila kemudian ternyata salah satu pihak beperkara tidak melaksanakan isi Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI setempat.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja, terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari salah satu pihak atau para pihak di Tingkat Bipartit/Konsiliasi/Arbitrase.
B. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum. Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya. Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak). Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang “pasti” mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum.[3] Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.

C. Konsiliasi Sebagai Suatu Paradigma Baru
            Berbeda dengan lembaga mediasi yang bersifat wajib, setelah kegagalan upaya bipartite, lembaga konsiliasi dan arbitrase merupakan pilihan. Sebagai lembaga pilihan, konsiliasi dan arbitrase hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari penyelesaian melalui lembaga tersebut. Dengan demikian, apabila upaya bipartite gagal, maka para pihak diberi kesempatan untuk memilih upaya penyelesaian yang mereka inginkan, apakah konsiliasi atau arbitrase. Apabila mereka tidak memilih salah satu dari upaya tersebut, maka penyelesaian wajib dilakukan melalui mediasi.
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan segala jenis perselisihan, dalam konsiliasi ada pengecualian, yaitu perselisihan hak. Perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui lembaga bipartite, mediasi atau PHI.
Dibandingkan dengan Undang-undang Perburuhan yang lama, penyelesaian melalui jalur konsiliasi; peranan konsiliator mirip dengan pegawai perantara pada Dinas Ketenagakerjaan. Bedanya terletak pada pejabatnya, yaitu bersifat adhock, bukan pejabat pemerintah seperti pegawai perantara.[4]
Lembaga konsiliasi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah, akan tetapi apabila tidak tercapai konsiliator akan mengeluarkan anjuran yang berisi pendapat konsiliator atas perselisihan yang dihadapkan kepadanya. Karena pendapat yang dikeluarkan oleh konsiliator tersebut hanya berupa anjuran, dan bukan putusan, maka para pihak yang terkait dalam perselisihan tersebut tidak wajib untuk memenuhi anjuran. Pihak yang merasa dirugikan atas anjuran tersebut berhak menolak melaksanakan isi anjuran dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Apabila penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dapat dilakukan, maka konsiliator membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama dan mendaftarkannya ke Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan akta bukti Perjanjian Bersama. Konsiliator harus sudah menyelesaikan dan atau mengeluarkan anjuran atas perselisihan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak lembaga konsiliasi menerima permintaan penyelesaian perselisihan.


DAFTAR  PUSTAKA



Damanik, Sehat. Hukum Acara Perburuhan, Jakarta : DSS Publishing, 2007,
h.45
Yusman, “Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke Pengadilan Umum”, Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005, h. 1

[1] Dosen Biasa Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Anggota Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti, Anggota Pusat Kajian Hukum dan Perundang-undangan Pusat Studi HAM Universitas Trisakti. Makalah disampaikan Pada Bimtek Bagi Konsiliator diselenggarakan oleh Depnakertrans, Cisarua, 6 Juli 2007
[2] Yusman, “Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke Pengadilan Umum”, Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005, h.1
[3] Yusman, Op.cit.

[4] Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, h.45

Senin, 03 Juni 2013

Mengurai Galau Perburuhan - Jawa Pos

Mengurai Galau Perburuhan

May Day atau Hari Buruh Internasional diperingati setiap 1 Mei di seluruh dunia. Di Surabaya, acara tersebut akan dihadiri langsung oleh Presiden SBY (Jawa Pos, 28 April). Begitu hebohnya May Day, bahkan yang berstatus buruh maupun bukan akan terlibat atau terpaksa terlibat karena jalan-jalan macet lantaran demo dan tidak bisa melakukan kegiatan sebagaimana hari-hari kerja yang lain. Inilah efek kegalauan hubungan industrial.

Hubungan industrial sebenarnya merupakan hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha dalam proses produksi yang didasarkan pada perjanjian kerja. Namun, posisi buruh sampai saat ini masih belum seimbang jika dibanding majikan/pengusaha. Karena itu, diterbitkanlah berbagai peraturan perundang-undangan, terutama untuk melindungi para buruh. Pemerintah, lewat Kementerian Tenaga Kerja, melakukan pembinaan dan pengawasan agar hubungan industrial bisa berjalan sesuai dengan peraturan.

Meski UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan secara jelas menyebutkan bahwa norma hubungan industrial yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, faktanya, sering terjadi penyimpangan. Protes buruh terus terjadi, apalagi saat May Day.

Serikat pekerja (SP) mempunyai peran penting dalam membantu anggota-anggotanya dan memperjuangkan hak-hak mereka. Banyak SP yang akomodatif. Ada pula SP yang cenderung konfrontatif, bahkan kegiatannya banyak turun ke jalan (kapan bekerjanya?). Siapa tahu, semakin banyak SP tersebut turun ke jalan, membuat macet di jalan, dan memaksakan pendapatnya, hal itu bisa menjadi ''media promosi'' organisasinya yang berujung pada meningkatnya jumlah anggota serta iuran.

Dalam perselisihan antara buruh yang dibantu SP tertentu dan perusahaan, justru sangat sulit tercapai kesepakatan. Ujungnya adalah berakhirnya hubungan kerja, bahkan ada SP yang berupaya memailitkan perusahaan. Jelas, itu bukan penyelesaian yang ''murah'' karena buruh juga terbebani biaya proses penyelesaian yang rumit, padahal mereka sudah tidak bekerja.

Memang, pengusaha harus memenuhi kewajiban-kewajiban normatif mereka. Hak-hak buruh yang telah diperjanjikan merupakan hak mereka. Pengusaha tidak boleh lagi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar undang-undang. Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 yang memberikan hukuman 1 (satu) tahun penjara kepada pengusaha yang membayar upah di bawah UMK (upah minimum kabupaten/ kota) seharusnya menjadi preseden (contoh) untuk tidak diulangi pengusaha di negara ini.

Di sisi lain, sistem otonomi daerah dan sistem pemilihan langsung kepala daerah memang berpengaruh positif dalam hal pembelajaran demokrasi kepada warga. Namun, hal itu ternyata berdampak negatif dalam setiap perselisihan buruh-pengusaha. Kepala daerah atau siapa pun tokoh politik kerap bekerja sama dengan tokoh-tokoh buruh, apalagi kepala daerah tersebut menganut ajaran Jeremy Bentham dengan greatest-happiness principle-nya. Sebab, SP adalah organisasi berbasis massa yang sangat menjanjikan untuk mendukung tokoh politik dalam pemilu atau pilkada. Kepala daerah mempunyai kepentingan dalam setiap kebijakan perburuhan. Meski, sebaliknya, tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan kepala daerah dengan pengusaha yang merugikan para buruh.

Kurangi Peran ''Broker''

Permasalahan buruh dan pengusaha pada dasarnya terletak pada kurang adanya jaminan kesejahteraan, baik berupa jaminan pekerjaan (job secure) maupun adanya penghasilan yang terus-menerus (financial secure). Selain itu, perlindungan negara terhadap tindakan sewenang-wenang pengusaha yang secara posisi ekonomi lebih kuat dibanding buruh belum optimal.

Bagaimana solusinya? Pertama, pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif yang mengemban amanah langsung untuk menyejahteraan seluruh warga, termasuk kelompok buruh, seharusnya mengembalikan posisi tersebut. Berikan jaminan job secure dan financial secure dengan membuat program-program pembangunan dan ketentuan-ketentuan perundangan yang mendukung.

Kedua, pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja, sebagai pelaku sekaligus pengawas hubungan industrial bertanggung jawab menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan terbebas dari pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Instansi itu seharusnya bersikap lebih tegas dan tanpa kompromi. Tetapi, di sisi lain, mereka harus tetap pula memberikan perlindungan kepada pengusaha yang baik dan patuh pada aturan.

Ketiga, mengembalikan posisi buruh dan pekerja dengan meminimalkan peran ''broker'' dalam menyalurkan aspirasi dan menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi. Perantara dalam hubungan antara buruh dan pengusaha yang diwakili Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) maupun SP harus benar-benar dilakukan untuk murni kepentingan pengusaha dan murni kepentingan buruh. Bukan untuk kepentingan Apindo atau SP atau oknum-oknum di balik organisasi tersebut.

Akhirnya, harapan masyarakat pada umumnya, May Day, Peringatan Hari Buruh Internasional, harus dirayakan secara bersama dalam bentuk peringatan yang menarik, tidak merugikan umum, agar muncul rasa simpati akan nasib para buruh. Tidak dengan cara sebaliknya yang menimbulkan rasa dongkol dan jengkel karena jalan-jalan macet hingga berjam-jam dan merugikan banyak orang. Baik juga keputusan yang menjadikan May Day sebagai hari libur nasional.  
(Sumber: Jawa Pos, 1 Mei 2013)

Tentang Penulis : Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya, Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga