Oleh Sugeng Santoso PN
Penyerahan
pekerjaan kepada pihak lain atau dikenal dengan outsourcing/alih daya saat ini
telah menjadi satu permasalahan yang sepertinya tidak selesai diperdebatkan.
Aktivitis Serikat Pekerja dan Pengusaha berbeda pendapat tentang pemahaman
terhadap outsourcing ini, di sisi lain Pemerintah terlihat tidak benar-benar
serius mencari solusi terbaik tentang persoalan ini.
BUMN
sebagai perusahaan ‘plat merah’ atau milik perusahaan Pemerintah justru banyak
disorot karena diduga banyak melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan
outsourcing. Beberapa kali Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN dipanggil oleh DPR
dan didesak untuk segera menyelesaikan permasalahan praktik outsourcing di
BUMN. Upaya yang telah dilakukan oleh Menteri BUMN adalah mengumpulkan seluruh
direksi BUMN dan menawarkan beberapa solusi praktik outsourcing yang ada dengan
menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya jenjang karir dan rencana
pembentukan perusahaan outsourcing sendiri. Tentu saja solusi yang ditawarkan
oleh Dahlan Iskan selaku menteri BUMN tersebut perlu dikritisi dari aspek hukum
perburuhan.
Pokok
permasalahan
Ketentuan
yang mengatur tentang outsourcing diatur dalam Pasal 64 –Pasal 66 jo. Pasal 1
angka 15 jo. Pasal 59 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU 13/2003
mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan Pasal 64
kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 65 berupa dua bentuk perjanjian untuk
dapat dilaksanakannya penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan, yaitu
perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian penyediaan jasa pekerja/ buruh.
Berdasarkan Pasal 64 dan Pasal 65 maka dikenal adanya dua jenis outsourcing
yaitu “outsourcing pekerjaan” yang berdasar pada suatu perjanjian pemborongan
pekerjaan dan “outsourcing pekerja” yang berdasar pada suatu perjanjian
penyediaan jasa pekerja
Hubungan
hukum dalam outsourcing pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan pekerja
karena perintah kerja datangnya dari pemberi kerja dan menikmati hasil
pekerjaan juga pemberi kerja. Jenis outsourcing pekerjaan seharusnya tidaklah
perlu dipersoalkan karena banyak terjadi di masyarakat tidak hanya dalam dunia
industri. Sebaliknya, jenis outsourcing berupa outsourcing pekerja dapat
ditafsirkan adalah salah satu bentuk penempatan pekerja sebagai obyek dari
suatu hubungan hukum. Penempatan pekerja/buruh sebagai obyek oleh sebagian pakar
hukum perburuhan dikatagorikan sebagai salah satu perbudakan manusia.
Permasalahan penempatan buruh sebagai obyek hubungan hukum dalam UU 13/2003
inilah yang oleh sebagian besar aktivis buruh dituntut untuk dihilangkan dengan
salah satu cara yaitu melakukan perubahan UU 13/2003.
Upaya
untuk melakukan penghapusan outsourcing telah dilakukan pula melalui beberapa
kali uji materiil UU 13/2003 terhadap UUD 1945 dan terakhir sebagaimana diputus
oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor : 27/PUU-IX/2011. Putusan MK
tersebut memiliki dua sisi yang berbeda, Sisi pertama, putusan MK menyatakan
hubungan kerja berupa karyawan kontrak (PKWT) tidak lagi mengikat di dalam
perusahaan outsourcing. Atau boleh dikatakan hubungan kerja outsourcing harus
berbentuk buruh/pekerja tetap (PKWTT). Di sisi lain, boleh menggunakan
buruh/pekerja kontrak dalam outsourcing sepanjang PKWT memuat syarat pengalihan
perlindungan hak buruh bila obyek kerjanya tetap ada. Terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain.
Problem
Outsourcing di BUMN
Permasalahan
adanya praktik outsourcing yang diduga menyimpang di BUMN disebabkan oleh
beberapa hal :
1.
Praktik yang telah salah atau keliru selama ini. Pada umumnya perusahaan BUMN
telah berdiri bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka. Praktik-praktik
outsourcing yang salah telah dilakukan jauh sebelum ada ketentuan yang secara
khusus mengatur tentang outsourcing sebagaimana telah diatur dalam UU13/2003
juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012.
2.
Susahnya menetapkan ‘core business’. Sebagai sebuah perusahaan BUMN yang
seluruh Direksinya dipilih ataupun ditunjuk oleh Pemerintah maka ada kendala
‘keberanian’ untuk melakukan konsep-konsep perubahan termasuk dalam menetapkan
‘core business’ perusahaan. Pada umumnya BUMN mempunyai bisnis utama yang
sangat luas dan beragam aktivitasnya. Penetapan ‘core business’ perusahaan
menjadi salah satu titik awal dilakukannya pengalihan pekerjaan kepada pihak
lain sebagaimana ditentukan dalam UU 13/2003 maupun Permenaker Nomor 19 tahun
2012. Kekhawatiran bahwa merubah ‘core business’ yang berarti mengurangi bisnis
utamanya akan menurunkan kredibilitas Direksi perusahaan tersebut.
3.
Tidak jelasnya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja di BUMN.
Praktik outsourcing di BUMN dengan pembagian ‘subcon (sub contractor)’ dalam
bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyedia jasa pekerja/buruh saat ini banyak
yang menyimpang dan tidak jelas. Banyak pekerjaan yang seharusnya diserahkan
kepada perusahaan pemborongan pekerjaan tetapi dilakukan oleh perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dan sebaliknya.
4. Ketidaktahuan
atau ketidakmauan pimpinan untuk berubah. Perubahan dan pembenahan praktik
outsourcing di BUMN bukan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan tetapi
tergantung pada kemampuan dan kemauan Dewan Direksi di BUMN tersebut.
Ketidaktahuan tentang praktik outsourcing yang benar dan tepat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku harus menjadi skala prioritas pimpinan BUMN disamping
upaya untuk memenuhi target dan keuntungan perusahaan. Kekhawatiran akan banyak
pimpinan BUMN yang bersikap mendiamkan permasalahan outsourcing ini selama
permasalahannya tidak bergejolak di perusahaannya. Sikap ini tentu saja sangat
tidak bijaksana.
5.
Adanya confilck of interest. Praktik outsourcing di BUMN juga diindikasikan
adanya ‘confilck of interest’ dari oknum pejabat-pejabat di BUMN tersebut.
Patut diduga adanya praktik ‘perusahaan dalam perusahaan’ yang dilakukan oleh
oknum pejabat tersebut dengan perusahaan-perusahaan outsourcing yang
mendapatkan ‘tender’ melakukan pekerjaan di BUMN tersebut berdasarkan
rekomendasi dari oknum pejabat-pejabat BUMN.
Langkah
Perbaikan
Beberapa
langkah perbaikan yang dapat dilakukan oleh BUMN dan Pemerintah :
1.
Menghilangkan semua sebab-sebab adanya praktik outsourcing yang sebab-sebab
penyimpangan sebagaimana tersebut di atas.
2.
Mematuhi semua ketentuan yang telah tertuang dalam UU 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan maupun dalam Permen Nomor 19 tahun 2012.
3.
Menetapkan core business. Keberanian untuk menetapkan ‘core business’ dan
menentukan alur proses pekerjaan dengan mendapatkan penetapan asosiasi sector
usaha harus segera dilakukan. Core business seharusnya dilakukan dengan
sederhana yaitu pertama, sebelum menggunakan system outsourcing maka pengusaha
harus menetapkan terlebih dahulu pekerjaan inti (core business) dan pekerjaan
penunjang (non core business). Kedua, Penentuan tersebut perlu dilakukan secara
jelas dan tegas dalam implementasi usahanya. Meskipun konsep dan pengertian
usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business
adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis, tetapi sebagaimana
Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang
dihubungkan dengan core activity atau core business, yaitu : Kegiatan yang
secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan, Kegiatan yang bersifat kritis
terhadap kinerja bisnis, Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik
sekarang maupun di waktu yang akan datang, atau Kegiatan yang akan mendorong
pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
4.
Melakukan internal audit secara rutin. Terhadap praktik outsourcing yang
digunakan perlu dilakukan internal audit baik terhadap perusahaan-perusahaan
outsourcing tersebut, kualifikasinya, ketaatan terhadap perijinannya, jaminan
pekerja/buruhnya dan praktik pemberian hak-hak normative terhadap pekerja di
perusahaan outsourcing tersebut.
5.
Membentuk lembaga asuransi yang menanggung adanya kelangsungan usaha sekaligus
kelangsungan pekerjaan dan penghasilan bagi para pekerja di
perusahaan-perusahaan outsourcing. Peserta dari asuransi ini adalah
perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan pekerjaan di BUMN.
Kesimpulan
Solusi
yang ditawarkan oleh Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan dalam praktik
outsourcing yang ada dengan menawarkan upah yang lebih tinggi dari UMK, adanya
jenjang karir dan rencana pembentukan perusahaan outsourcing sendiri dengan
demikian bukanlah solusi terhadap permasalahan hukum karena tidak menyelesaikan
akar persoalan praktik outsourcing itu sendiri.
Seharusnya
BUMN segera melakukan perbaikan terhadap praktik outsourcing dan dapat menjadi
contoh praktik outsourcing yang tepat dan tidak menyimpang terhadap ketentuan
perundangan yang berlaku. BUMN harus memberikan perlindungan dan kesejahteraan
kepada setiap tenaga kerja yang melakukan kontribusi kepada BUMN tersebut tidak
perduli apakah pekerja tersebut adalah pekerja sendiri ataukah pekerja yang
bekerja pada perusahaan outsourcing. Semoga perbaikan tersebut segera
diselesaikan sebelum tanggal 19 Nopember 2013 sebagaimana amanat Pasal 34 Permenaker
Nomor 19 tahun 2012.
Tentang penulis :
Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, email : sgng_aysant@yahoo.com
Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, email : sgng_aysant@yahoo.com