Senin, 16 Juni 2014

Kajian atas Solusi Capres terhadap Masalah Buruh

Oleh Sugeng Santoso PN
Sugeng Santoso PNBuruh tenang, hanyalah impian, buruh bergolak adalah kenyataan. Masalah-masalah buruh yang selalu muncul terutama pada saat menjelang peringatan hari buruh internasional atau pada penentuan kenaikan upah minimum kabupaten/kota seolah sudah menjadi fenomena yang lazim kita temui. Masalah buruh tidak pernah secara serius diselesaikan oleh pemerintah. Kesulitan pemerintah dalam menyelesaikan masalah buruh disebabkan karena pola penyelesaian yang dipergunakan tidak pernah meranjak dari pola-pola yang ada dan selalu terpaku pada pola penyelesaian yang lama. Pemerintah seolah-olah tidak mengetahui akar masalah yang sebenarnya dihadapi pelaku utama hubungan industrial yaitu Buruh dan Pengusaha.
Permasalahan perburuhan yang ada sampai saat ini lebih disebabkan karena faktor-faktor di luar hubungan kerja/industrial itu sendiri, misalnya 1) Ketimpangan jumlah lapangan kerja dan jumlah tenaga kerja yang mengakibatkan posisi buruh atau tenaga kerja dalam posisi yang lemah; 2) Hak-hak dasar atau hak-hak normatif yang seharusnya dinikmati oleh warga negara termasuk buruh dan saat ini belum bisa dipenuhi oleh Negara, antara lain : pendidikan yang murah dan berkualitas, transportasi umum yang murah, layak dan aman, biaya kesehatan/ jaminan kesehatan, harga-harga kebutuhan pokok, perumahan, jaminan hari tua untuk warga negara yang sudah berusia lanjut ; jaminan mendapatkan pekerjaan; 3) Hak-hak di bidang hukum, antara lain : perlindungan hukum bagi buruh yang melakukan kegiatan serikat pekerja, pengawasan pemerintah terhadap pelanggaran hak-hak buruh, ketakutan akan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Permasalahan-permasalahan yang sebenarnya berasal dari luar pelaku utama hubungan industrial tersebut saat ini tidak bisa dikendalikan atau diselesaikan dengan baik oleh negara yang diwakili rezim yang berkuasa. Sehingga faktor-faktor di luar hubungan industrial tersebut kerap menjadi topik perselisihan buruh dan pengusaha. Boleh disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” telah dengan mudah dipindahkan tanggungjawabnya oleh Negara melalui pemerintah kepada pelaku dunia usaha/pengusaha. Padahal sesungguhnya rezim yang ada haruslah melindungi buruh karena posisi buruh yang lemah, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau dua prinsip yaitu : the different principle dan the principle of fair equality of opportunity, kedua prinsip tersebut diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung (termasuk kaum buruh). (John Rawls,1997). Pendapat John Rawls juga dikutip kembali oleh HP. Rajagukguk yang menyatakan bahwa secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas yang terpaksa bekerja pada orang lain karena majikan yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja (HP. Rajagukguk, 2000). Kekuasaan ada dua yang selalu menjadi perhatian yaitu kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha (Philipus M. Hadjon, 1994). Peran pemerintah juga sekaligus memberikan jaminan kepada pengusaha agar dapat mengembangkan usahanya dan berinvestasi secara aman dan mudah.
Tuntutan – tuntutan Buruh
Buruh yang sampai saat ini terus menyuarakan tuntutan-tuntutannya dan oleh sebagian kelompok buruh telah pula disampaikan pada pada saat merayakan hari buruh internasional tahun 2014 yang berupa 10 tuntutan, meliputi : 1. Kenaikan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item ; 2. tolak penagguhan upah minimum ; 3. Jalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada juli 2015 ; 4. Jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut permenkes momor 69 tahun 2013 tentang tarif serta ganti INA CBG dengan free for service, audit badan penyelenggar a jaminan sosial (BPJS) kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ; 5. Hapus alih daya (outsourcing), khususnya alih daya di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja alih daya; 6. Sahkan RUU PRT dan revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39 tahun 2004 ; 7. Cabut UU Ormas ganti dengan UU perkumpulan ; 8. Angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp. 1 juta per orang perbulan dari APBN untuk guru honorer ; 9. Sediakan transportasi publik dan perumahan untuk buruh; 10. Jalankan wajib bwlajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi. Menarik untuk dicermati karena salah satu calon presiden telah melakukan ‘kontrak politik’ dengan kelompok buruh tersebut dan sepakat mewujudkannya. Apakah tuntutan tersebut akan benar-benar diwujudkan oleh calon presiden tersebut dan apakah semua persoalan buruh dapat diselesaikan? Menarik untuk dicermati dalam proses seleksi capres dan cawapresnya dan salah satu tolok ukur keseriusan capres cawapres dalam mengurai masalah buruh dengan menawarkan solusi adalah melalui visi dan misinya (http://www.kpu.go.id/).
Solusi Capres – Cawapres
Solusi Prabowo-Hatta yang ditawarkan melalui visinya untuk membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat, dengan tiga misi yang kemudian dituangkan dalam Agenda dan program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia yaitu (I) Membangun perekonomian yang kuat, berdaulat, adil dan makmur; dengan cara : (11) b. Meningkatkan keharmonisan hubungan industrial dengan jalan memperbaiki koordinasi dan komunikasi antara pekerja, dunia usaha dan pemerintah, (II) Melaksanakan ekonomi kerakyatan; dengan cara : (2) mendorong perbankan nasional dan lembaga keuangan lainnya untuk merioritaskan penyaluran kredit bagi petani, peternak, nelayan,buruh, pegawai, industri kecil menengah, pedagang tradisional dan pedagang kecil.
Solusi dari pasangan Jokowi JK dengan Visi dan misinya diawali dengan uraian tentang tiga problem pokok bangsa yang salah satunya adalah kelemahan sendi perekonomian bangsa. Belum terselesainya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, tidak mampu memberi jaminan kesehatan dan kualitas hidup yang layak bagi warganya, gagal dalam memperkecil ketimpangan dan ketidakmerataan pendapatan nasional. Visi : terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. misi dalam 7 misi dengan 9 agenda prioritas. Berdikari dalam bidang ekonomi (5) berkomitment membangun pemberdayaan buruh, melalui, 1. Pengendalian inflasi harus dilihat sebagai bagian integral dari perjuangan buruh; 2. Pembangunan perumahan untuk buruh di kawasan industri tidak dapat ditunda lagi; 3. APBN menjadi bagian penting dari pelayanan hak-hak buruh; 4. Pelarangan kebijakan alih tenaga kerja di BUMN; 5. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan penyerapan tenaga kerja; 6. Mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam Masyarakat Ekonomi Asean; 7. Melakukan revisi terhadap UU 39/2004 tentang penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan menekankan pada aspek perlindungan; 8. Mendukung pengesahan UU tentang Sistem dan komite Pengawas Ketenagakerjaan, UU tentang Sistem pengupahan dan Perlindungan upah, UU tentang kesehatan, UU tentang keperawatan, UU tentang kebidanan, UU tentang perlindungan pekerja rumah tangga, UU tentang perlindungan pekerja media, UU yang harus direvisi : UU Ketenagakerjaan, UU tentang Penyelesaian hubungan industrial, UU tentang penempatan dan perlindungangan tenaga kerja Indonesia di luar negeri; 9. Mendukung pengalihan konsorsium asuransi TKI menjadi bagian dari BPJS Kesehatan; Dan 10. Mendorong perubahan UU perseroan terbatas untuk memberikan insentif kepada perusahaan. Insentif diberikan bagi perusahaan yang memberikan hak kepada pekerja untuk dapat membeli saham perusahaan.
Kajian atas Solusi Capres Cawapres
Visi misi yang dituangkan pasangan Prabowo Hatta masih sangat singkat dan normatif meskipun pada saat peringatan hari buruh Internasional di Gelora Bung Karno tanggal 1 Mei 2014 yang lalu, Prabowo adalah capres yang berani melakukan kontrak politik dengan mendukung 10 tuntutan buruh sebagaimana diuraikan sebelumnya. Keberanian Prabowo untuk memenuhi tuntutan buruh patut untuk diapresiasi tetapi sayang hal tersebut tidak dituangkan dalam visi misinya. Visi misi yang disampaikan pasangan Jokowi JK justru lebih rinci dan terarah.
Beberapa langkah yang akan dilakukan Jokowi JK justru lebih nyata antara lain rencana disusunnya UU tentang Sistem dan komite Pengawas Ketenagakerjaan dan UU tentang Sistem pengupahan dan Perlindungan upah. UU tentang Sistem dan komite Pengawas Ketenagakerjaan sangat dibutuhkan karena sampai saat permasalahan adanya jaminan penegakan hukum (law enforcement) di bidang perburuhan selalu terkendala oleh jumlah tenaga pengawas dan kewenangan tenaga pengawas ketenagakerjaan.
UU tentang Sistem pengupahan dan Perlindungan upah tentunya sangat ditunggu oleh buruh maupun pengusaha agar persoalan upah yang berulang setiap tahunnya dapat diselesaikan dan memberikan jaminan adanya ketentuan upah yang fair dan adil. Jokowi JK juga akan melakukan revisi terhadap dua UU penting yang saat ini mengatur tentang perburuhan yaitu UU 13 tahun 2003 dan UU 2 tahun 2004. UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pasal-pasalnya telah banyak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dan UU 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang oleh sebagian buruh dirasakan tidak memberikan perlindungan.
Apakah visi misi yang disampaikan oleh kedua capres dan cawapres tersebut hanyalah sekedar memberikan janji-janji dan apa langkah-langkah nyata yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan persoalan buruh adalah hal menarik untuk kita tunggu. Selanjutnya pilihan kembali kepada rakyat dan para buruh untuk menentukannya. Siapapun Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, harus mampu mengurai dan memecahkan masalah buruh.
Tentang Penulis :
Sugeng Santoso PN, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Surabaya dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 832 5551. Email: sgng_aysant@yahoo.com
http://gagasanhukum.wordpress.com/2014/06/16/Kajian-atas-Solusi-Capres-terhadap-Masalah-Buruh/

Kamis, 29 Mei 2014

Hakim Adhoc adalah Pejabat Negara

Hakim Adhoc adalah Pejabat Negara

Oleh Sugeng Santoso PN
Kontroversi tentang status dan kedudukan hakim Ad hoc telah muncul di berbagai media. Pemerintah bersama dengan lembaga legislative yang melahirkan hakim Ad hoc seolah-olah membiarkan status dan kedudukan hakim Ad hoc dalam keadaan yang tidak jelas. Sampai dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengacualikan hakim Ad hoc sebagai pejabat negara. Kedudukan hakim Ad hoc apakah sebagai pejabat Negara atau bukan tetap menjadi bahan perdebatan. Pemerintah bersikap ‘setengah hati’ mengakui kedudukan hakim Ad hoc tersebut. Kewajiban yang harus ditanggung oleh seluruh hakim Ad hoc sebagaimana pejabat Negara yang lain telah dibebankan tetapi pengakuan sebagai pajabat Negara tidak kunjung jelas arahnya.
Keberadaan Hakim Ad hoc
Kemunculan hakim Ad hoc adalah merupakan tuntutan dari suatu undang-undang sebagaimana kemunculan peradilan-peradilan khusus yang ada di Negara kita. Semua pengadilan khusus mempunyai hakim Ad hoc, kecuali di pengadilan anak. Pada umumnya hakim Ad hoc dikelompokkan dalam 2 (dua) jenis, pertama adalah hakim Ad hoc yang sementara yang mendapat tugas khusus menangani suatu perkara tertentu sebagai hakim anggota sebagaimana hakim Ad hoc dalam pengadilan pajak dan hakim Ad hoc dalam pengadilan niaga. Kedua, hakim Ad hoc yang bertugas dalam periode waktu tertentu, misalnya hakim Ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan HAM, dan pengadilan hubungan industrial.
Pengaturan status kedudukan hakim Ad hoc diatur secara mandiri dalam undang-undang yang berbeda. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang didalamnya mengatur secara khusus tentang kedudukan hakim Ad hoc Tipikor, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang didalamnya diatur tentang hakim Ad hoc PHI, demikian pula Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU no.31 tahun 2004 tentang Perikanan. Oleh karena dasar pengaturan terhadap hakim Ad hoc yang berbeda-beda serta tidak adanya pengakuan yang tegas tentang keberadaan hakim Ad hoc termasuk hal yang potensial menimbulkan perbedaan perlakuan (unequel treatment) yang dapat bertentangan dengan konstitusi (Hamdan Zoelva, Putih Hitam Pengadilan Khusus, 2013).
Hakim Ad hoc adalah Pejabat Negara
Hakim Ad hoc dalam tugas pokoknya adalah sama dengan hakim karir dan ikut dalam sebuah Majelis Hakim yang memeriksa dalam mengadili perkara-perkara tertentu. Kedudukan hakim Ad hoc dalam pengadilan-pengadilan khusus adalah sangat penting sebagaimana kedudukan hakim karir, bahkan suatu persidangan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa hadirnya Majelis Hakim secara utuh dengan demikian hakim Ad hoc adalah hakim sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”, sementara Pasal 31 ayat (1) UU UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :”Hakim pengadilan dibawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung”.
Penegasan tentang kedudukan hakim Ad hoc sebagai pejabat Negara oleh pemerintah didasarkan pada Peraturan Menteri Sekretaris Negara yakni Nomor: 6 Tahun 2007 dan diganti oleh Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc termasuk kategori Pejabat Negara Lainnya
Hakim Ad hoc sebagai pejabat Negara khusus untuk hakim Ad hoc Tipikor secara jelas telah tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 1 angka 1 dan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang secara jelas memberikan kedudukan yang sama antara hakim karir dan hakim Ad hoc.
Permohonan Uji Materiil Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Pasal 121 dan Pasal 122 huruf “e” Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang mengecualikan hakim ad hoc sebagai pejabat Negara inilah yang mendorong sebagian dari hakim Ad hoc untuk melakukan uji materiil terhadap UU ASN tersebut.
Hakim Ad hoc tentu saja adalah fihak yang merasakan hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 121 dan 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tersebut dan sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi maka adalah hak dari para pemohon yang terdiri dari hakim-hakim Ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hubungan Industrial untuk melakukan uji materiil (judicial review) dan memastikan bahwa hakim Ad hoc adalah pejabat Negara tanpa adanya diskrimasi demi keadilan serta kepastian hukum di Negara hukum Indonesia.
Tentang penulis:
Sugeng Santoso PN, Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya, dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/sugeng-santoso-pn/

Buruhku Sayang, Buruhku Malang

SENIN, 19 MEI 2014
Buruhku Sayang, Buruhku Malang
Oleh: Sugeng Santoso PN *)
Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi, menghilangkan ekonomi biaya tinggi, menghapus budaya suap dan pungutan-pungutan liar untuk pengusaha agar pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dipergunakan untuk mensejahterakan buruhnya.

Buruhku Sayang, Buruhku Malang Oleh: Sugeng Santoso PN *)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Hari Buruh Internasional atau biasa dikenal dengan May Day diperingati setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 telah menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur, sebuah hadiah untuk seluruh buruh Indonesia setelah memperjuangkankannya bertahun-tahun.

Peringatan hari buruh Internasional kali ini diwarnai dengan catatan-catatan kelam kondisi buruh di Indonesia. Jumlah pengangguran terbuka yang sampai dengan tahun 2013 mencapai 7,5 juta orang (Data BPS), ancaman hukuman mati bagi buruh migrant (TKI) yang lebih dari 270 orang, masih tidak jelasnya kedudukan pembantu rumah tangga, kasus-kasus penyekapan sebagaimana menimpa buruh panci di Tangerang beberapa waktu yang lalu yang semuanya adalah sebuah fenomena gunung es.

Kedudukan buruh di semua sektor usaha, termasuk buruh non formal, TKI, pembantu rumah tangga adalah kedudukan yang penting di negara kita. Buruh menempati posisi yang strategis mengingat jumlahnya yang sangat besar dan tentunya patut dioptimalkan perannya dalam memajukan pembangunan negara.

Buruh sebagai komoditas
Negara Indonesia telah menjadi anggota International Labour Organization (ILO), organisasi buruh dunia itu pada tahun 1950. Pada saat rezim Orde Lama berkuasa beberapa konvensi ILO telah diratifikasi di Indonesia, demikian juga menjelang saat rezim Orde Baru beberapa Konvensi ILO juga telah dirafitikasi dan diberlakukan di Indonesia. Tindakan ratifikasi konvensi-konvensi ILO merupakan pertanda bahwa pemerintah sedikit banyak telah berkomitmen pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum buruh.

Ketentuan ILO dalam konstitusinya sudah jelas menyebutkan bahwa ‘labour is not commodity’ yang berarti adanya larangan menjadikan buruh sebagai barang komoditas/barang dagangan atau dipersamakan dengan barang.

Apabila memperhatikan kondisi buruh saat ini maka penegasan ILO tersebut perlu dikaji ulang karena banyak kasus yang terjadi telah menempatkan buruh sebagaimana barang dagangan dan dapat pula kondisi buruh tersebut dijadikan sebuah komuditas. Perlakuan buruh sebagai barang dagangan baik buruhnya sendiri maupun kondisi buruhnya dapat dilakukan oleh pengusaha, pemerintah, aktivis-aktivis buruh, dan juga oleh para politikus. Bentuk-bentuk pemanfaatan buruh dan kondisi buruh antara lain:
  • Penggunaan tenaga kerja dengan sistem outsoucing yang menyalahi ketentuan Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain pada hakekatnya telah menempatkan buruh sebagai komoditas;
  • Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (TKI) tanpa diberikan bekal ketrampilan yang memadai sehingga diperlakukan sebagai budak oleh majikannya;
  • Tindakan para politisi untuk memobilisasi buruh menjadi pendukung dan pendongkrak suara untuk kepentingan pemilihan legislatif ataupun pemilihan kepala daerah;
  • Banyaknya perselisihan yang muncul antara buruh dengan pengusaha yang sering dimanfaatkan oleh oknum dinas yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, maupun pihak yang berwajib untuk mendapakan keuntungan pribadi dengan cara “memeras” pengusaha;
  • Kasus-kasus yang berujung di Pengadilan Hubungan Industrial yang muncul karena tindakan aktivis buruh yang tidak bersedia menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme yang ada dan terus melakukan mogok kerja sehingga perusahaan terpaksa tutup usahanya dan pada akhirnya buruh tetap kehilangan pekerjaannya dengan kompensasi yang sudah dipotong oleh oknum aktivis buruh.
Solusi memperbaiki nasib buruh
Persoalan perburuhan yang carut marut tersebut pada dasarnya membutuhkan keseriusan seluruh pimpinan negara ini untuk menyelesaikannya, khususnya lembaga eksekuitif dan legilatif. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi, menghilangkan ekonomi biaya tinggi, menghapus budaya suap dan pungutan-pungutan liar untuk pengusaha agar pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dipergunakan untuk mensejahterakan buruhnya.

Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif membuat program perbaikan nasib buruh secara keseluruhan dalam bentuk regulasi yang berpihak kepada buruh dan menjamin dilakukannya law enforcement terhadap siapapun yang melanggar peraturan ketenagakerjaan.

Perlunya keseragaman pemahaman yang jelas di antara pejabat ketengakerjaan dalam memahami ketetentuan-ketentuan ketenagakerjaan karena dalam praktik sering terjadi permasalahan berkaitan dengan kompetensi pegawai di bidang ketenagakerjaan yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum di bidang perburuhan.

Menghapuskan atau memperbaiki peraturan-peraturan organik yang menghilangkan/mengaburkan norma-norma perlindungan buruh yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Buruh juga harus secara cerdas mampu membedakan kepentingan-kepentingan dari pengurus/aktivis buruh, politisi, pejabat atau siapapun yang kelihatannya memperjuangkan nasib buruh tetapi pada hakekatnya hanya menjadikan buruh sebagai komuditas kepentingannya sendiri dan pada akhirnya tidak memberikan perubahan apapun kepada buruh.

Pengusaha harus mematuhi semua regulasi ketenagakerjaan yang ada, penempatan buruh sebagaimana mesin-mesin produksi pada dasarnya adalah pandangan hukum ekonomi kapitalis yaitu hukum persentase laba yang terus berkurang sebaimana disampaikan Karl Marx (Franz Magnis Suseno, 1999), buruh harus ditempatkan sebagai mitra atau human capital yang harus terus dikembangkan untuk kemajuan dan keuntungan perusahaan tersebut.

Jika para pemimpin Negara ini termasuk Presiden terpilih nantinya tidak benar-benar memikirkan dan membuat program-program kerja yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan di negara kita maka nasib buruh tetap sebagai kelompok yang termarginalkan dan akhirnya buruh tetap dibutuhkan tetapi nasibnya tidak pernah berubah.

Selamat merayakan Hari Buruh Internasional.

*) Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya dan Mahasiswa S3 Program Ilmu Hukum Universitas Airlangga
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379b59d1036a/buruhku-sayang--buruhku-malang-broleh--sugeng-santoso-pn-
SENIN, 19 MEI 2014
Buruhku Sayang, Buruhku Malang
Oleh: Sugeng Santoso PN *)
Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi, menghilangkan ekonomi biaya tinggi, menghapus budaya suap dan pungutan-pungutan liar untuk pengusaha agar pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dipergunakan untuk mensejahterakan buruhnya.

Buruhku Sayang, Buruhku Malang Oleh: Sugeng Santoso PN *)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Hari Buruh Internasional atau biasa dikenal dengan May Day diperingati setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 telah menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur, sebuah hadiah untuk seluruh buruh Indonesia setelah memperjuangkankannya bertahun-tahun.

Peringatan hari buruh Internasional kali ini diwarnai dengan catatan-catatan kelam kondisi buruh di Indonesia. Jumlah pengangguran terbuka yang sampai dengan tahun 2013 mencapai 7,5 juta orang (Data BPS), ancaman hukuman mati bagi buruh migrant (TKI) yang lebih dari 270 orang, masih tidak jelasnya kedudukan pembantu rumah tangga, kasus-kasus penyekapan sebagaimana menimpa buruh panci di Tangerang beberapa waktu yang lalu yang semuanya adalah sebuah fenomena gunung es.

Kedudukan buruh di semua sektor usaha, termasuk buruh non formal, TKI, pembantu rumah tangga adalah kedudukan yang penting di negara kita. Buruh menempati posisi yang strategis mengingat jumlahnya yang sangat besar dan tentunya patut dioptimalkan perannya dalam memajukan pembangunan negara.

Buruh sebagai komoditas
Negara Indonesia telah menjadi anggota International Labour Organization (ILO), organisasi buruh dunia itu pada tahun 1950. Pada saat rezim Orde Lama berkuasa beberapa konvensi ILO telah diratifikasi di Indonesia, demikian juga menjelang saat rezim Orde Baru beberapa Konvensi ILO juga telah dirafitikasi dan diberlakukan di Indonesia. Tindakan ratifikasi konvensi-konvensi ILO merupakan pertanda bahwa pemerintah sedikit banyak telah berkomitmen pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum buruh.

Ketentuan ILO dalam konstitusinya sudah jelas menyebutkan bahwa ‘labour is not commodity’ yang berarti adanya larangan menjadikan buruh sebagai barang komoditas/barang dagangan atau dipersamakan dengan barang.

Apabila memperhatikan kondisi buruh saat ini maka penegasan ILO tersebut perlu dikaji ulang karena banyak kasus yang terjadi telah menempatkan buruh sebagaimana barang dagangan dan dapat pula kondisi buruh tersebut dijadikan sebuah komuditas. Perlakuan buruh sebagai barang dagangan baik buruhnya sendiri maupun kondisi buruhnya dapat dilakukan oleh pengusaha, pemerintah, aktivis-aktivis buruh, dan juga oleh para politikus. Bentuk-bentuk pemanfaatan buruh dan kondisi buruh antara lain:
  • Penggunaan tenaga kerja dengan sistem outsoucing yang menyalahi ketentuan Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain pada hakekatnya telah menempatkan buruh sebagai komoditas;
  • Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (TKI) tanpa diberikan bekal ketrampilan yang memadai sehingga diperlakukan sebagai budak oleh majikannya;
  • Tindakan para politisi untuk memobilisasi buruh menjadi pendukung dan pendongkrak suara untuk kepentingan pemilihan legislatif ataupun pemilihan kepala daerah;
  • Banyaknya perselisihan yang muncul antara buruh dengan pengusaha yang sering dimanfaatkan oleh oknum dinas yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, maupun pihak yang berwajib untuk mendapakan keuntungan pribadi dengan cara “memeras” pengusaha;
  • Kasus-kasus yang berujung di Pengadilan Hubungan Industrial yang muncul karena tindakan aktivis buruh yang tidak bersedia menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme yang ada dan terus melakukan mogok kerja sehingga perusahaan terpaksa tutup usahanya dan pada akhirnya buruh tetap kehilangan pekerjaannya dengan kompensasi yang sudah dipotong oleh oknum aktivis buruh.
Solusi memperbaiki nasib buruh
Persoalan perburuhan yang carut marut tersebut pada dasarnya membutuhkan keseriusan seluruh pimpinan negara ini untuk menyelesaikannya, khususnya lembaga eksekuitif dan legilatif. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi, menghilangkan ekonomi biaya tinggi, menghapus budaya suap dan pungutan-pungutan liar untuk pengusaha agar pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dipergunakan untuk mensejahterakan buruhnya.

Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif membuat program perbaikan nasib buruh secara keseluruhan dalam bentuk regulasi yang berpihak kepada buruh dan menjamin dilakukannya law enforcement terhadap siapapun yang melanggar peraturan ketenagakerjaan.

Perlunya keseragaman pemahaman yang jelas di antara pejabat ketengakerjaan dalam memahami ketetentuan-ketentuan ketenagakerjaan karena dalam praktik sering terjadi permasalahan berkaitan dengan kompetensi pegawai di bidang ketenagakerjaan yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum di bidang perburuhan.

Menghapuskan atau memperbaiki peraturan-peraturan organik yang menghilangkan/mengaburkan norma-norma perlindungan buruh yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Buruh juga harus secara cerdas mampu membedakan kepentingan-kepentingan dari pengurus/aktivis buruh, politisi, pejabat atau siapapun yang kelihatannya memperjuangkan nasib buruh tetapi pada hakekatnya hanya menjadikan buruh sebagai komuditas kepentingannya sendiri dan pada akhirnya tidak memberikan perubahan apapun kepada buruh.

Pengusaha harus mematuhi semua regulasi ketenagakerjaan yang ada, penempatan buruh sebagaimana mesin-mesin produksi pada dasarnya adalah pandangan hukum ekonomi kapitalis yaitu hukum persentase laba yang terus berkurang sebaimana disampaikan Karl Marx (Franz Magnis Suseno, 1999), buruh harus ditempatkan sebagai mitra atau human capital yang harus terus dikembangkan untuk kemajuan dan keuntungan perusahaan tersebut.

Jika para pemimpin Negara ini termasuk Presiden terpilih nantinya tidak benar-benar memikirkan dan membuat program-program kerja yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan di negara kita maka nasib buruh tetap sebagai kelompok yang termarginalkan dan akhirnya buruh tetap dibutuhkan tetapi nasibnya tidak pernah berubah.

Selamat merayakan Hari Buruh Internasional.

*) Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya dan Mahasiswa S3 Program Ilmu Hukum Universitas Airlangga
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5379b59d1036a/buruhku-sayang--buruhku-malang-broleh--sugeng-santoso-pn-

Selasa, 27 Agustus 2013

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja oleh Dr. Asri Wijayanti, SH, MH

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA
YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN KESALAHAN BERAT
Oleh :
Asri Wijayanti, S.H.,MH.*) 
ABSTRAK
       Sejak adanya krisis moneter dan ketidakstabilan politik nasional Indonesia, pekerja sangat memerlukan perlindungan hukum, mengingat Indonesia adalah negara hukum. Dampak krisis moneter diantaranya adalah adanya penutupan perusahaan, adanya pemutusan hubungan kerja secara besar- besaran atau adanya efisiensi tenaga kerja.  Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja adalah kepastian hukum tentang adanya hak-hak normatif bagi pekerja yang diputus hubungan kerjanya karena pekerja melakukan  kesalahan berat.
       Pekerja yang melakukan kesalahan berat dapat langsung di putus hubungan kerjanya apabila ia tertangkap tangan, pengakuan  serta ada bukti lain yang cukup bahwa ia telah melakukan kesalahan berat.
       Pekerja yang mengalami PHK karena melakukan kesalahan berat  berhak mendapat  uang penggantian hak 1 x ketentuan serta uang pisah. Apabila hak itu tidak diperoleh maka dapat dilakukan upaya hukum secara administrasi atau secara perdata, selama pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004  belum terbentuk.
 

       Kata kunci : perlindungan hukum, pekerja, PHK, kesalahan berat.











 

I   Pendahuluan
       Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara  yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau pekerja.
       Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.. Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6). Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1  angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
       Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
       Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi, membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan pekerja pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
      Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
       Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
      Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)  
      Perlindungan  hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5) 
         Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157). 
       Dari uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
       
II     Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
       Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan  dalam  UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
      Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. 
      Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 adalah :
  1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
  2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
  3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

       Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
       Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
       Penekanan pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas pekerja.  Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan  kesejahteraan meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat,  (Machsoen Ali, 1999 :162 ).  
    1. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
       Sebelum membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
       Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
       Hubungan kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
         Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
      Pengertian pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

       Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan adalah:
    1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
    2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

       Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan kesejahteraan pekerja.  Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya :
  1. Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
  2. Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah  dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna); dan
  3. Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).

       Agar  kedua belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
       Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud. (Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
       Selama pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003,
Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.  
       Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK harus diupayakan untuk dicegah.
       Pengusaha dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal 153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
    1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
    2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
    3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    4. Pekerja/buruh menikah;
    5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
    6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan  pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
    10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.

       Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88) 
       Berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut :
  1. Pekerja melakukan kesalahan ringan;
  2. Pekerja melakukan kesalahan berat;
  3. Perusahaan tutup karena pailit;
  4. Force majeur;
  5. Adanya efisiensi;
  6. Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
  7. Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
  8. Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).

        Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :
  1. Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
    1. Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
    2. Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
    3. Menurunnya persediaan bahan dasar.
    4. Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
  2. Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
  3. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
  4. Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)

Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :  
  1. Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
  2. Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
  3. Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
  4. Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)

       Alasan PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain :
a… Jika antara lain  tidak menyebutkan alasannya atau.
    1. Jika alasannya PHK itu dicari-cari  atau alasannya palsu.
    2. Jika akibat pemberhentian  itu  adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
    3. Jika buruh diperhentikan  bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf  dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
       Apabila alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan yaitu :
  1. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
  2. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
       Pada garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu :
  1. Pemutusan hubungan kerja karena hukum
   Jika hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir, maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan penting.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
    1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
    2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
    3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
    4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
    5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
    6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

  1. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak majikan
    1. Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003

Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK

       Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja  yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
       Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
  2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
  3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
  4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
  5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
  6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
  7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
  8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
  9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

       Ketentuan uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
  2. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
  3. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
  4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
  5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
  6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
  7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
  8. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

       Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

IV. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat
      Berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
    1. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
    2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
    3. mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
    4. melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian  di lingkungan kerja;
    5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
    6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik  milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
    8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
    9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
    10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

       Sebelas kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht.
       Diputuskannya pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
  1. pekerja / buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

       Tiga syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya salah satu syarat dari ketiga  syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima.
       Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat.
       Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam  bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat itu  harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
       Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-kurangnya dua orang saksi.  Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
       Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara  pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan.
       Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tertulis dan.
       Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat dipahami.  Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
       Kekurang cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink.
       Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan  tegas menetapkan bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan kesalahan berat.
       Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat  maka pekerja itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
      Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
       A bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan  satu juta. Masa kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
       Adapun hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah  uang penggantian hak yang sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
       Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima (misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja ;
       Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar. 
V  Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan berat.
      Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
      Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat .
      Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional.
      Apabila diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
      Upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
      Sejak adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara  bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
       Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
       Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 yaitu :
  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
  3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
  4. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
  5. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

       Berdasarkan ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.

VI    Kesimpulan

      Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
       Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.
      Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.
       Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.

















 










DAFTAR BACAAN 
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2. 
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan,  Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. 
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.  
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin. 
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta. 
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta. 
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta. 
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta. 
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta. 
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta. 
-------, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung. 
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung. 
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994 
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 
Sukarno, 1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung. 
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh,   PT. Bina Aksara, Jakarta. 
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279). 
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356). 
Burgerlijk Wetboek.. 
            Adikusuma, S. 1992,  Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta Mas, Surabaya