Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang
Pekerja Outsourcing, Quo Vadis Bagi Para Pihak dalam Hubungan Kerja
Oleh : Dr Th Andari Yurikosari, SH MH[1]
1.
A. Pendahuluan
Perjanjian kerja outsourcing atau alih daya merupakan bagian
kapitalisme global dan cenderung merugikan pekerja. Sistem itu disukai kalangan
pengusaha karena bisa memangkas berbagai tunjangan yang harus dikeluarkan
perusahaan.
Sistem outsourcing tidak hanya ada di Indonesia, tetapi di semua negara. Di mana-mana pada semua negara pada prinsipnya sama, pengusaha menghindari karyawan tetap, dan menghindari hak-hak pekerja.
Sistem outsourcing tidak hanya ada di Indonesia, tetapi di semua negara. Di mana-mana pada semua negara pada prinsipnya sama, pengusaha menghindari karyawan tetap, dan menghindari hak-hak pekerja.
Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat
putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17
Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu
melalui Surat Edaran Menteri Nomor B.31/PHIJSK/2012 tentang Outsourcing
dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Mahkamah Konstitusi menegaskan
outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam
rangka efisiensi usaha. Akan tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam
perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua
model outsourcing. Meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk
melindungi pekerja, kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam
pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu
tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai
putusan Mahkamah Konstitusi makin melegalkan praktik outsourcing.
Ada tiga hal penting
yang dikritik. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi mengukuhkan keberadaan outsourcing
dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan
penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja
(user). Kalangan serikat pekerja lebih menginginkan outsourcing yang
bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja (bukan borongan) dihapuskan.
Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja secara langsung
tanpa outsourcing. Kedua, putusan Mahkamah
Konstitusi memperkecil jarak benefit yang diperoleh pekerja outsourcing dengan
pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi penting,
sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan. Dalam konteks ini,
tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di
perusahaan pengguna tenaga kerja. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama
membentuk serikat buruh. Ketika pekerja ingin menuntut kenyamanan di tempat
kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana; perusahaan penyedia atau pengguna
tenaga kerja.
1.
B. Pokok
Permasalahan
1.
Bagaimana pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Surat Edaran Menteri Nomor
Nomor B.31/PHIJSK/2012 ?
2.
Bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian kerja
outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011 ?
3.
Bagaimana penyelesaian yuridis normatif apabila terjadi
pelanggaran terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 ?
1.
C. Pembahasan
Adanya kebutuhan
hubungan kerja berdasarkan sistem outsourcing tidak dapat dihindari dewasa ini dan
merupakan kebutuhan nyata pada berbagai jenis bidang usaha. Sebab berdasarkan
pertimbangan ekonomi, beberapa pekerjaan lebih tepat dilakukan secara outsourcing. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat
dijadikan alasan pembenar untuk menghindari dari kewajiban-kewajiban terhadap
pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demikian pula, terhadap
perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Akan tetapi kurangnya
sanksi dan peraturan pelaksana di bawah undang-undang memerlukan adanya
pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian dan perlindungan hukum bagi
mereka yang bekerja secara kontrak maupun mereka yang bekerja secara outsourcing.
Aloysius Uwiyono
memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah bahwa hubungan
kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual[2] yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya
hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan
peraturan perusahaan. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual
sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek (BW)[3] atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak[4] dalam hukum
perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak
melakukan perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.Dalam hukum perburuhan di
Indonesia, harus dibedakan antara hubungan kerja denganhubungan industrial.[5] Beberapa negara baik
yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan kedua bentuk hubungan ini. Judge
Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja
(labour
contract).[6] Sedangkan Bruce
E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat, industrial
relation telah ada sejak akhir
tahun 1920an, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan
dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi
tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah
(government
regulation in the form protective labor legislation).[7] Di Jerman, sebagai
bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment
Promotion Act,[8] disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour
relations. Argumen-argumen di atas
jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam
hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta
Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks
hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat
atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di dasarkan pada
kontrak kerja atau perjanjian kerja.Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu
hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh
pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk
menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan
pekerja dengan membayar upah.[9] Di dalam Pasal 50 UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena
adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.[10]Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan
kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi
yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan
adanya upah.[11]Kualifikasi mengenai adanya
pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi
atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan
pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.Undang-undang Nomor 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat
(14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak.Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya
unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau
waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan
perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH
Perdata yaitu :a.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinyaArti kata sepakat
adalah bahwa kedua subyek hukum yang mengadakan
perjanjianharus setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan. Perjanjian tersebut dikehendaki secara timbal balikb.Kecakapan untuk
membuat suatu perikatanSubyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut
hukum. Pada asasnyasetiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya disebut cakap menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH
Perdata dijelaskan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah
orang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.c.Suatu hal
tertentu.Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang
tersebut harus sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan
si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh
undang-undang.d.Sebab yang halalSebab yang dimaksud dari suatu perjanjian
adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai bagian dari perjanjian pada
umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian
kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan,
yaitu :a. Kesepakatan kedua belah pihakKesepakatan keduia belah pihak yang
lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia sekata
megenai hal-hal yang diperjanjikanb. Kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum. Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat
perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat
perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan
telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur
minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang
dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan
mentalnyac. Adanya pekerjaan yang diperjanjikanPekerjaan yang diperjanjikan
merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang
akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.Pekerjaan yang
diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.d. Obyek perjanjian harus
halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban umum dan
kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure
perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.Pembedaan mengenai jenis
perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.[12] Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan
perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk
PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka
waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal
56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya
dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun,
pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.[13]Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT),yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja tetap.[14] Masa berlakunya PKWTT
berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan
kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu
diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis
maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan
bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal
demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang
berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan.Pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan
timbul dimana pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya, tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 59 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu:1. Pekerjaan yang sekali selesai atau
yang sementara sifatnya;2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;3.
Pekerjaan yang bersifat musiman;4. Pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.Sedangkan untuk masa sekarang ini hampir semua jenis pekerjaan
dapat ‘dipkwtkan’ atau diikat dengan perjanjian kontrak maupun juga dengan cara outsourcing, suatu hal yang sebenarnya melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan
pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara
teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun
mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja, hubungan hukum yang terjadi dengan
pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana
kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena
pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.[15]Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalamUU
No.13/2003, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau
peminjaman pekerja (uitzenverhouding).[18]Meskipun pekerja tidak mempunyai
hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya
mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan
penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus
pekerja di perusahaan pengguna . (Pasal 65 Ayat (4) UU 13/2003)Tidak
adanya jaminan kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam
hubungan kerja yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut tiga
pihak yaitu perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja. Dalam
memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat
tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal
ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus
mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik
hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan
industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus[19], Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan
pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK
seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan
undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan
penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna
jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis
dapat berubah.Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di
satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke
luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi
pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan,
pekerjaoutsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat
dimasuki oleh pekerjaoutsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh
UU 13/2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika
pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna
yang sama bertahun-tahun dengan sistemoutsourcing.Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja
adalah mengenai sanksi. UU No. 13/2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap
pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal
ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya
secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja
dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang
bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan
kemudian dialihkan menjadi pekerjaoutsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah
dihindari oleh perusahaan pengguna.Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan
pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan
hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja
outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan
penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang
diperjanjikan, maka perjanjian kerjaoutsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan
dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara
perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalamUU
No.13/2003, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau
peminjaman pekerja (uitzenverhouding).[18]Meskipun pekerja tidak mempunyai
hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya
mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan
penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja
di perusahaan pengguna . (Pasal 65 Ayat (4) UU 13/2003)Tidak adanya jaminan
kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam hubungan kerja
yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut tiga pihak yaitu
perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja.
Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa ada model yang harus
dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu
tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja
yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan
bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena perjanjian
kerjanya bersifat PKWTT atau tetap. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara
yuridis, yaitu siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja,
sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan
oleh karenanya disubkontrakkan. Tidak adanya jaminan kepastian pekerjaoutsourcing bekerja terus menerus juga oleh karena sifat
pekerjaannya dilakukan berdasarkan kebutuhan perusahaan pengguna, walaupun
tidak dapat dipungkiri ada beberapa penyimpangan dalam hal ini.
Bagi perjanjian kerja
yang sudah diberikan kepada pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, tentu tidak masalah; oleh karena Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Menteri No.
B.31/PHI.JSK/2012. Akan tetapi permasalahan akan timbul setelah diberlakukannya
Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran
Menteri No B.31/PHI.JSK/I/2012 yang menyebutkan bahwa harus ada proses Transfer Of
Undertaking Protection Of Employment atau TUPE, yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Kerja Outsourcing apabila sifatnya berupa Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. Bagi sebagian besar kalangan perusahaan pengguna, hal ini tentu
memberatkan; karena alasan semula mempekerjakan pekerja outsourcing adalah berdasarkan kebutuhan dan sifat tentatif
dari pekerjaan yang diperjanjikan. Bagi kalangan perusahaan pengguna,
sebenarnya hal tersebut membebaskannya dari kewajiban mempekerjakan pekerja outsourcing yang masa kerjanya habis sebelum masa kontraknya
habis. Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini
dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi maupun Surat Edaran Menteri mengenai pekerjaan apa saja yang dapat
dioutsourcingkan. Konsekuensi yuridis normatif dengan
diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pekerja outsourcing adalah bahwa semua perusahaan penyedia jasa
harus mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap, sedangkan sifat pekerjaan yang dioutsourcingkan biasanya tergantung tingkat dan jenis
kebutuhan.
Dalam memberikan suatu
pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada
kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal
ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus
mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik
hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan
industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus[19], Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerjaoutsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan
pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK
seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan
undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan
penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna
jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis
dapat berubah.Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di
satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcingdipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke
luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi
pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan,
pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat
dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh
UU 13/2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika
pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna
yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mewajibkan PKWT bagi Perjanjian Kerja Outsourcing harus memuat klausula atau prasyarat yang
menyebabkan pekerja outsourcing di perusahaan pengguna dapat beralih menjadi pekerja tetap.
Beberapa kasus mengenai hal ini telah sampai menjadi perselisihan hubungan
industrial sampai tingkat Pengadilan Negeri di bidang Pengadilan Hubungan
Industrial.
Permasalahan lain dalam
hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. UU No. 13/2003
tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang
mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan
bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut.
Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan
sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi
pekerjaoutsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh
perusahaan pengguna.Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan
pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan
hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja
outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan
penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang
diperjanjikan, maka perjanjian kerjaoutsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan
dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara
perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.Sebenarnya konsekuensi apabila
tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 62
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian
kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan
dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi di
angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak
pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja.Akan tetapi ketentuan Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja
dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi
hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap yang diikat dengan perjanjian
kerja waktu tertentu serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja
di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal dalam
undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengenai outsourcing, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama
ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan
memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut
dipekerjakan kembali. Hal tersebut tentu sangat merugikan pekerja, sebab status
dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi
pihak pekerja itu sendiri.Sebenarnya keluhan lain datang dari pihak perusahaan
penyedia jasa pekerja outsourcing. Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, hampir semua
perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan beberapa kemampuan dan kompetensi
pekerjaoutsourcing yang rendah di samping
apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau
pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pengguna, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat,
oleh karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima
perusahaan jasa outsourcing. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara
akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi pekerjaoutsourcing.Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari
pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun
dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerjaoutsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa dan
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan.[20] Sebagian pekerja outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak
dibandingkan dengan bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas
mengenai hak dan kedudukannya.
1.
Penutup
2.
Perjanjian Kerja Outsourcing pada dasarnya untuk pekerjaan yang tidak berhubungan dengan
kegiatan pokok dan sifatnya sewaktu atau tentatif oleh karena itu sifatnya pada
dasarnya tidak dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tetap yang sifatnya
berhubungan langsung dengan kegiatan pokok
3.
Proses transfer atau peralihan dari perjanjian kerja waktu
tertentu kepada perjanjian kerja waktu tidak tertentu, berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran menyebabkan perusahaan pengguna berpikir
ulang untuk mempekerjakan pekerja outsourcing walaupun tetap saja ada kemungkinan-kemungkinan
dan peluang serta celah di balik berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi.
4.
Pada dasarnya sebelum dan setelah diberlakukannya Putusan Mahkamah
Konstitusi dan Surat Edaran Menteri , tidak meniadakan outsourcing itu sendiri;
sebab selama ini apa yang diatur dalam Putusan dan Surat Edaran Menteri telah
diberlakukan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hanya ketentuan mengenai kewajiban mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai
pekerja tetap kecuali ada klausula TUPE lah yang kemudian menjadi kewajiban
pengusaha pengguna (user) dan perusahaan outsourcing untuk memenuhinya dalam
perjanjian kerja outsourcing.
[1]Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara, Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara, Magister Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Ketua Pusat Studi Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ketua Umum Masyarakat Hubungan Industrial
Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Tentang Outsourcing Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Kantor Hukum Haryo Wibowo SH dan GMT
Insititute Of Property Management, Jakarta, 6 Maret 2012
[2] Aloysius Uwiyono,
“Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon,” dalam http://www.Hukumonline diakses pada tanggal 9 Desember 2007. Faktor
lain yang mempengaruhi dasar hubungan kerja adalah berkembangnya model hubungan
industrial yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal ini terdapat
dua model hubungan industrial yaitu corporatist model dancontractualist model. Yang pertama suatu model hubungan kerja di
mana peran Pemerintah sangat dominant dalam menentukan syarat-syarat kerja dan
kondisi kerja (corporatist model) dan yang kedua model hubungan industrial di mana peran
Pemerintah sangat minim atau rendah(contractualist model). Selanjutnya Uwiyono menambahkan bahwa
terdapat peran hubungan industrial yang lain di mana peran serikat pekerja
sangat besar (multi union system).
[3]Indonesia masih menggunakan dasar hukum dalam BW/KUH
Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum perburuhan mulai dari pasal 1601
a – pasal 1752 KUH Perdata
[4]Asas kebebasan berkontrak mempunyai hubungan erat
dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal
1338 (Ayat 1) KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak (contravijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan
siapa perjanjian itu diadakan. Lihat Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit
Bank di Indonesia, Jakarta : Institut
Bankir, 1993, hal. 105.
[5]UU No. 13/2003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh
atau dalam Pasal 1 Ayat (15) dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, dan Pasal 1 Ayat
(16) menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsure pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.
[6]Judge Bartolome` Rios Salmeron, dalam General Report
Social Dialogue Eight Meeting of European Labour Court Justice, Jerusalem, September 3, 2000 menyebutkan bahwa,”…it is not usual to find
a legal concept of contract of employment, although in some legal systems it
can be deducted from the concept of employee, which is legally defined, in
spite of the fact that personnel scope of labour acts may vary according to
their objects. Mengutip British Statute
Law dalam Employment
Rights Act (ERA) Section 230 (1)dinyatakan”…and a worker, who is working under a contract of employment or a
contract for services” (Section 230 (3).
[7]Bruce E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment
Relationship, New York : Industrial
Relations Research Association Series, 1998, 1st. ed. p.2.
[8]Dalam Labour Relationship in a Changing Environment, London: Cornell University, 1990, Alan
Gladstone mengutip Germany Civil Code, 1990,”……the civil code covers
mainly fundamental aspects of employer –employee relationship…, contains provisions
concerning termination of the labour contract.”
[11]R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum
Perburuhan di Indonesia(Jakarta:
Grhadika Binangkit Press, 2004) Hal. 15
[14]F.X. Djulmiaji, Loc.Cit.
[15]“PHK dan
Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja,” diakses darihttp://www.pemantauperadilan.com pada 20 November 2007.
[16]Pengertian atau
definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr Ani Wijayati, “Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang
No. 13 Tahun 2003,” dalamBunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, h.66.
[17]RR Ani Wijayati, SH.MHum, “Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outourcing) Dalam UU No.
13/2003”, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta, UKI Press, 2004, hal.65.
[18]DR. HP Radjagukguk,SH dalam “Kepastian Hukum Untuk
Pekerja Sistem Outsourcing”, Makalah hal. 20.
[19]Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT
Tri Patra Engineer and Contractor menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka
dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific Indonesia, karena
menganggap PT TPEC bukan najikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa, juga
kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi
MA No 192 K/PHI/2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya
sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan
outsourcingnya.
[20]Kasus pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo
Interaktif area Jawa Tengah yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar